(Antara
kebudayaan dan Keagamaan)
Oleh : Yusica
Elbasia/852010003/MD302B
Indonesia dikenal
sebagai negara dengan ragam pulau dan kebudayaan. Daya tarik wisatanya terletak
pada keindahan alam serta keunikan-keunikan yang dimiliki setiap wilayah di
Indonesia. Bangunan bersejarah, keindahan pantai, tari-tarian, makanan khas, ukiran,
sampai pada kegiatan masyarakat dalam berbagai acara budaya. Menurut Koentjaraningrat ,“Kebudayaan adalah
suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Salah
satu hasil kebudayaan yang jarang disoroti melalui media pengkabaran adalah
upacara Tiwah yang berasal dari suku Dayak Ngaju di Kalimantan tengah. Upacara
Suci Tiwah adalah upacara kematian agama Hindu kaharingan yang dilakukan untuk
memimpin liau (arwah) didalam
perjalannya menuju lewu liau (tempat
peristirahatan/ surga). Lewu liau
adalah tempat jiwa dipersatukan dengan nenek moyangnya, dan untuk kedua kalinya
memakamkan tulang-tulang orang yang sudah wafat di tempat peristirahatan tetap
yang di sebut sandung.
Tiwah merupakan upacara kematian kedua, karena sebelum dilaksanakanTiwah, ada upacara kematian yang pertama dengan memimpin liau menuju tempat peristirahatan sementara, yaitu di bukit pasahan raung. Pasahan raung adalah tempat pemondokan sementara peti mayat orang yang mati dan biasanya dibuat dihutan yang jauh dari perkampungan. Upacara Tiwah tidak boleh diabaikan karena pengabaiannya akan menyebabkan liau yag bertahan di bukit dan dipercaya dapat mendatangkan bencana bagi keluarga yang masih hidup. Oleh karena itu, suku Dayak Ngaju percaya bahwa orang yang sudah meninggal sangat bergantung dengan keluarganya yang masih hidup. Keluarga yang masih hiduppun bergantung kepada arwah nenek moyang mereka yang dipercayai sewaktu-waktu dapat datang kembali ke dunia untuk berhubungan dengan keluarga yang masih hidup untuk menyampaikan petuah, nasihat, ataupun teguran apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran adat leluhur di dunia, terutama di kalangan keluarga arwah. Bilamana teguran tersebut terjadi maka yang ditegur akan menderita penyakit puji liau (teguran arwah) yang kalau tidak segera dijawab dengan tepat akan menyebabkan kematian.
Dalam kehidupannya suku Dayak Ngaju
harus melestarikan budaya dan adat istiadat yang ada, sehingga ketika
meninggal, arwahnya akan diterima oleh nenek moyang yang terlebih dahulu pulang
ke negeri para arwah atau lewu liau.
Apalagi jika ada orang dari suku ini yang meninggal secara tidak wajar,
misalnya karena dibunuh, maka dianggap mati secara tidak luhur karena menurut
mereka ia mati dengan terpaksa dan belum waktunya untuk mati. Rohnya akan
mengalami penderitaan, baik di dunia maupun di akhirat karena ia tidak
diberikan tempat. Arwahnya akan bergentayangan di bumi dan di langit dan
arwahnya tidak diterima oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, tidak heran
jika orang Dayak Ngaju sangat menghormati dan mentaati adat-istiadatnya serta
takut untuk melakukan kejahatan, karena
jika tidak, maka penderitaan di akhirat akan menanti dirinya. Akan tetapi
penderitaan tersebut akan dapat diakhiri melalui upacara Tiwah ini.
Jika kita berbicara tentang upacara
suci Tiwah secara umum, jelas akan berhubungan dengan Agama Kaharingan atau Agama Helo. Agama Kaharingan adalah agama suku bagi orang dayak
yang ada di Kalimantan. Mereka yang menganut kepercayaan tersebut, hidup dalam
mitos-mitos yang dibangun berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Kaharingan berasal dari kata haring
ditambah dengan awalan ka dan akhiran
an, yang kemudian menjadi Kaharingan. Haring
artinya hidup atau bisa juga berarti tumbuh dengan sendirinya. Jadi Kaharingan
sama dengan agama yang hidup dan tumbuh berdasarkan pesan Tuhan atau Ranying Hattala Langit melalui perantara
para leluhur atau nenek moyang. Kaharingan
ada semenjak Ranying Hatalla Langit
menciptakan manusia dan mengatur segala sesuatunya agar kelak manusia dapat
menuju kehidupan yang sempurna dan abadi. Menurut kepercayaan ini, manusia
diciptakan dari tanah milik Ranying
Hattala Langit. Mengapa diciptakan berasal dari tanah milik Ranying Hattala Langit, karena jika dari
tanah milik manusia di dunia, tanah itu dikatakan tanah sial.
Menurut kepercayaan Agama Kaharingan setiap manusia diciptakan
atau dilahirkan dari tiga unsur, yaitu unsur yang berasal dari Ranying Hattala Langit, ayah dan ibu
secara biologis. Jika salah satu dari ketiga unsur tidak ada, maka kelahiran
dianggap tidak sempurna. Setalah manusia itu wafat, maka ketiga unsur tadi
diantar oleh Duhung Maha Tandang[1]
ke tempat yang telah ditetapkan oleh Ranying Hattala Langit sejak awal.
Tiga tahapan pelaksanaan upacara
kematian menurut suku dayak:
- Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada kepada Raja Entai Nyahu yang bertugas sebagai penjaga kuburan.
- Tantulak Ambun Rutas Matei atau istilah lainnya Mapas pali yaitu untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian.
- Upacara Suci Tiwah ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa dan roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpung Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.
Upacara Suci Tiwah adalah upacara
keagamaan, bukan upacara adat yang secara umum dilakukan oleh suku Dayak di
Kalimantan. Upacara ini dapat dilaksanakan dengan syarat arwah-arwah yang
ditiwahkan itu semasa hidupnya harus beragama Kaharingan. Didalam pelaksanaannya, upacara suci Tiwah diberikan
tata adat dan tata cara khusus dengan hikmat dan bersih sebagaimana telah
diatur sejak dahulu kala dan sampai sekarang tetap diingat dan dilaksanakan
oleh umat Kaharingan. Nilai-nilai
keagamaan, budaya maupun sosial yang terkandung di dalamnya, menjadikan Upacara
Suci Tiwah sebagai upacara tertinggi dan beresiko tinggi bagi umat Kaharingan. Oleh karena itu, pelaksanaan
dan persiapan segala sesuatu harus dilakukan dengan baik dan cermat, karena
jika terjadi kekeliruan dalam pelaksanaannya, maka para ahli waris yang
ditinggalkan akan menanggung beban berat. Sebagai contoh, jauh dari rezeki di
masa mendatang, kesehatan terganggu atau sakit-sakitan, menanggung berbagai
kutukan di masa mendatang.
Tujuan Upacara Suci Tiwah ialah
mempersatukan ketiga unsur yaitu unsur Allah (Hatalla), Bapak, Ibu. Upacara ini
tidak hanya diperuntukan bagi orang yang mati secara tidak wajar (dibunuh,
tabrakan, dll) melainkan untuk semua penganut agama Kaharingan yang meninggal.
Jika keluarga dari orang yang meninggal tidak menyelenggarakan upacara suci
Tiwah, maka keluarga yang bersangkutan akan hidup dengan kesialan atau hidup di
ddalam hukum karma (pali). Contohnya,
dalam pendidikan gagal dan hidupnya selalu tertuju dalam hal-hal negatif. Selain
itu arwah yang tidak ditiwahkan itu akan tetap tinggal di pulau raung dan akan bergentayangan. Oleh karena itu, upacara suci
Tiwah harus dilakukan agar arwah orang yang sduah meninggal dapat mencapai
surga atau disebut Lewu Tatau Dia Rumpung
Tulang, Rundung Raka Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung
Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu
Liau.
Ditengah kebudayaan Indonesia yang
beragam dan begitu kuat ternyata beberapa masyarakat masih membawa tradisi
budayanya (agama buminya) kedalam gereja tanpa harus mempertimbangkan apakah
sesuai dengan inti ajaran agama Kristen atau tidak. Hal ini terjadi di GKE
Eka-Asi Tangkehan yang menyelenggarakan Upacara Suci Tiwah. Umat Kristen adalah
persekutuan orang-orang percaya menjadi suatu umat yang mengemban suatu gaya
hidup berdasarkan ajaran dan perilaku seorang juruselamat, Yesus Kristus.
Persekutuan orang-orang percaya ini biasanya disebut dengan satu istilah yang
populer yaitu GEREJA.[2]
Sebagai orang-orang kristen yang mengaku percaya, ternyata orang-orang kristen
tidak menutup diri terhadap nilai-nilai budayanya, khususnya orang dayak Ngaju
yang menjadi jemaat “Gereja Kalimantan Evangelis” (GKE). Tidak dapat dipungkiri
pengaruh budaya Kaharingan masih terlihat di dalam kehidupan bergereja
dan berjemaat. Di GKE Eka Asi-Tangkehan, Kalimantan tengah, jemaat kristen
masih menyelanggarakan dan melestarikan Upacara Suci Tiwah. Tiwah terakhir
diadakan pada tahun 2006 dan diselenggarakan oleh tiga keluarga.
Kematian dalam perspektif kristen
tidak hanya berbicara tentang definisi kematian atau berbicara dosa yang sangat berkaitan erat dengan
kematian rohani-jasmani melainkan tidak lepas dari sifat dan kuasa Allah.[3]
Kematian itu adalah salah satu kenyataan hidup karena dosa juga adalah salah
satu kenyataan hidup. Kematian datang karena dosa , Roma 5:12 “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke
dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu
telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Kematian
jasmani hanya sebagian dari akibat dosa. Dosa tidak mempunyai belas kasihan
sehingga kita berpisah dari Allah, mengakibatkan manusia memerlukan penebusan,
sehingga manusia dapat dibawa kembali kepada cahaya Tuhan. Allah sungguh
bekerja bagi kebaikan semua orang yang percaya kepada-Nya Dai telah melihat
manusia ketika dihancurkan oleh kejatuhan ke dalam dosa. Manusia tidak mampu
datang kembali kepada-Nya, dan oleh sebab itu Allah sendiri yang menghampiri
manusia. Inilah arti inkarnasi Yesus Kristus.[4]
Siapa yang bisa mengalahkan dosa maut? Hanya Allah. Oleh karena itu, Dia datang dalam wujud manusia. Bagaimana ia
datang? Dia memasuki aliran sejarah manusia untuk menyamakan diriNya dengan
manusia. Mengapa Dia datang? Dia berkata bahwa Dia datang untuk memberikan
nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang, Markus 10:45 “Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Secara
rohani seorang yang percaya pada Kristus mempunyai hidup yang kekal berdasarkan
iman pribadinya pada Dia. Yesus berkata, “Sesungguhnya
barangsiapa mendengar perkataanKu dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia
mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari
dalam maut ke dalam hidup, (Yoh. 5:24)”.
Upacara Suci Tiwah yang dilaksanakan
pada bulan September, tahun 2005 ini dilakukan oleh tiga keluarga. Upacara ini
mereka lakukan selain menjadi tradisi masyarakat Dayak Ngaju, juga bertujuan
untuk menghantarkan arwah orangtua mereka yang beragama Kaharingan menuju Lewu Tatau
untuk mendapatkan kehidupan yang suci dan sempurna. Keyakinan akan adanya
keselamatan melalui Upacara Suci Tiwah, menimbulkan rasa tanggung jawab yang
tinggi kepada arwah orangtua yang selama hidupnya menganut agama Kaharingan,
dan inilah yang menjadi salah satu alasan keluarga mereka melaksanakan Upacara
Suci Tiwah. Masyarakat menganggap bahwa upacara ini adalah tradisi dan
merupakan upacara besar bagi umat Kaharingan.
Oleh rasa kebersamaan dan kekerabatan yang tinggi, masyarakat sadar bahwa
partisipasi mereka sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara suci Tiwah
berlangsung.
Beberapa faktor diselenggarakan
Upacara Suci Tiwah oleh gereja yang didapatkan berdasarkan wawancara dengan
beberapa jemaat GKE Eka-Asi Tangkahen adalah:
Kebudayaan
Upacara Suci Tiwah adalah kebudayaan
suku Dayak Ngaju yang hadir melalui kehadiran Agama Kaharingan. Oleh karena
itu, Kaharingan tidak akan dapat dipisahkan dari kehidupan dan kebudayaan
masyarakat suku Dayak Ngaju. Upacara ini terus dilakukan juga dengan alasan
untuk melestarikan kebudayaan.
Sosial
Masyarakat Dayak Ngaju sangat melekat
dengan budaya gotong royong. Sebagai contoh, ketika menanam dan musim panen
tiba, maka masyarakat Dayak Ngaju saling bergotong-royong untuk membantu
keluarga atau kerabatnya. Sama halnya dengan upacar pernikahan dan upacara
kematian.
Kewajiban atau tanggung jawab keluarga
Rasa tanggung jawab yang tinggi
menuntut peran yang penting bagi keluarga dalam proses pelaksanaan Upacara Suci
Tiwah, diantaranya ialah: biaya yang besar, tanggung jawab terhadap arwah yang
ditiwahkan, memerlukan kebersamaan dan rasa sosil yang tinggi karena upacara
ini memakan waktu yang cukup lama dan melibatkan banyak orang.
Pendidikan
Walaupun sudah menganut agama
kristen, pengaruh agama Kaharingan
yang pernah mereka anut tidak hilang begitu saja. Faktor pendidikan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pendapat atau pandangan masyarakat
tentang Upacara Suci Tiwah. Walaupun masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan
SMP, SMU, sampai S1.
Ekonomi
Karena upacara Tiwah sangat mahal
dan membutuhkan waktu yang lama, banyak masyarakat Suku Dayak yang
melakukan Upacara Suci Tiwah secara
koletif, bersama-sama dengan keluarga lainnya. Dengan demikian biaya yang ditanggung
lebih ringan.
Apakah
Upacara Suci Tiwah bertentangan dengan Iman Kristen?
Dalam Tiwah, 2008. Penulis
mendapatkan informasi bahwa jemaat yang di GKE Eka-Asi Tangkahen masih memegang
adat budaya agama pribuminya, yaitu kaharingan. Berdasarkan informasi yang
didapatkan melalui wawancara dan bukti tertulis beberapa jemaat menganut agama
Kristen hanya karna ingin melamar pekerjaan seperti pegawai negeri. Jika ingin
melamar pekerjaan, pemerintah memberikan syarat ialah harus menganut agama yang
diakui oleh Pemerintah. Hal inilah yang menjadi motivasi untuk memeluk agama
kristen. Nilai-nilai agama Kaharingan
tidak akan bisa hilang dari kehidupan masyarakat Dayak Ngajuk, sekalipun dalam
kehidupan bergereja. Kenyataannya bahwa agama Kaharingan telah dahulu hadir didalam hidup suku Dayak Ngaju dan
sudah menumbuhkan rasa tanggung jawab akan budaya tersebut. Agama Kristen bisa
dikatakan sukses dalam penyebarannya dikalangan masyarakat Dayak Ngaju, karena
hampir diseluruh pelosok Kalimantan Tengah didirikan gereja yang disebut Gereja
Kalimantan Evangelis. Tetapi walaupun penyebarannya diakui sangat tinggi, namun
ajaran yang ada di dlaam agama kristen belum bisa mendarah daging didalam
masyarakat Dayak Ngaju. Ini merupakan salah satu fenomena budaya dalam
kaitannya dengan agama Kristen.
Daftar Pustaka
http://rid755.wordpress.com/2012/07/page/2/ di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://fauziyah-ziyaazira.blogspot.com/2013/04/upacara-tiwah-suku-dayak.html di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://budaya-indonesia.org/Tiwah/ di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
http://www.bimbingan.org/pengertian-budaya-menurut-koentjaraningrat.htm di akses pada 15 feb 2014, 20.19 wib
Jeniva, Isabella dan David Samiyono. 2008. “Tiwah”. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana Press
[1]
Duhung mamatandang: Roh halus yang bertugas mengantar roh yang telah meninggal
dalam acara Tantulak dan upacara suci Tiwah yang mana dalam acara Tantulak roh
tersebut diantar sampai Bukit Nalian Lanting Lewu Rundung Kereng Naliwu Rahan,
sedangkan dalam upacara suci Tiwah roh-roh orang yang telah meninggal tersebut
diantar ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tilang Isen Raja Kamalesu Uhat, dan
menggunakan Banama Nyahu untuk mengantar roh tersebut.
[2] Ibid.,
124-125 dalam Tiwah
[3] Tiwah.,
26
[4] Tiwah.,
27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar