Pendahuluan
Menurut pendapat Taylor (dalam Pelly dan Asih,
1994:23) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, keseniaan, moral, hukum, adat, kepercayaan dan
kemampuan serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri atas berbagai suku bangsa, ras,
agama dan kebudayaan. Keanekaragaman
budaya ini merupakan aset bangsa yang
harus dijaga dan dilestarikan kepada generasi berikutnya sehingga budaya bangsa
Indonesia terlindungi dari berbagai pengaruh termasuk budaya asing yang
memiliki potensi untuk menghilangkan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi
saat ini. Perbedaan dari budaya antar daerah itu sendiri dapat di lihat dari
berbagai segi seperti kepercayaan, bahasa, sastra, kesenian dan adat-istiadat.
Budaya daerah tersebut merupakan ekspresi kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Keanekaragaman budaya Indonesia merupakan
warisan luhur dari nenek moyang yang dapat mewujudkan rasa persatuan dan
kesatuan masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam su
ku di tanah air
Indonesia. Kebudayaan daerah tumbuh seiring dengan tradisi masyarakat yang
masih membangun dan memegang teguh warisan leluhur, suatu pembangunan berdaya guna
dan berhasil guna jika mampu mengembangkan potensi masyarakat yang ada di
dalamnya.
Pembahasan
Salah satu contoh keanekaragaman budaya di Indonesia
adalah budaya perkawinan, dimana setiap daerah memiliki budayanya tersendiri. Perbedaaan
budaya perkawinan dipengaruhi juga oleh perbedaan agama. Salah satu contohnya
adalah adat perkawian Bali. Di Bali mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Hal
ini pula yang menyebabkan perkawinan di Bali dilakukan secara hukum agama Hindu.
Menurut hukum Hindu perkawinan adalah
ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri untuk mengatur
hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan
menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka. Perkawinan dilaksanakan dengan
upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti, jika perkawinan tidak
dilaksanakan menurut hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah.
Syarat-syarat
perkawinan menurut hukum adat Bali yaitu :
1. Syarat umur : untuk dapat kawin, maka wanita dan pria harus sudah dewasa. Di dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal " menek bajang ", setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berubah suara (ngembakin). Wanita yang tidak pernah datang bulan, dianggap tidak memenuhi syarat untuk kawin. Secara fisik dia dianggap tidak sehat, dan secara religius dianggap letuh atau kuning.
2. Syarat kesehatan : hukum adat Bali khususnya dilihat dari sudut agama Hindu, maka syarat kemampuan melakukan senggama dapat dipandang sebagai syarat penting. Orang-orang yang mengalami gangguan fisik / psikis sebagai berikut dilarang kawin : pria impoten, gila, sakit ingatan, wanita kuming (vagina sempit), dan pria basur (buah pelir besar). Dalam kitab Kutara Menawa Dharmasastra di dalam kerajaan Majapahit (undang-undang Majapahit) pasal 169 menyebutkan : seorang wanita berhak membatalkan perkawinan apabila ternyata : sakit kuning, impoten, banci, punya penyakit budug perut, paha, pantat, dan punya penyakit ayan dan gila.
3. Hubungan kekeluargaan :
- Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan seorang wanita yang berkedudukan selaku nenek atau bibi setingkat sepupu atau sepupu dua kali.
- Dihindari pula perkawinan misan laki (antara anak-anak dari laki-laki bersaudara kandung), yang sering disebut "mepaid engad" (tarik-tarikan sembilu). Perkawinan "apit-apitan" (tetangga sederet jarak satu tetangga), dianggap sebagai sebuah pikulan, keluarga ditengah seumpama pemikul dan yang kawin termasuk keluarga sebagai barang pikulan, yang bisa jatuh, juga dihindari.
- Dilarang secara tegas perkawinan Gamya Gumana : menurut perkawinan Residen Bali dan Lombok 1927, perkawinan Gamya Gumana meliputi : perkawinan antara orangorang yang berkeluarga dalam garis keturunan kencang keatas dan kebawah, perkawinan antara mertua dan menantu, perkawinan antara bapak tiri dengan anak tin atau antara ibu tiri dengan anak tiri. Perkawinan antara paman (bibi) dengan keponakan perempuan (lai), perkawinan antara saudara dan perkawinan antara seorang lelaki dengan bibinya derajat sepupu satu.
4. Syarat yang cukup penting adalah, adanya
kebebasan kehendak dari mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak, artinya
bahwa akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan did dengan tegas
berkehendak untuk kawin. Ketidak setujuan orang tua dalam hal ini dapat
digugurkan.
Sahnya perkawinan menurut hukum agama
Hindu yaitu : VE Korn mengemukakan di Bali tidak dapat terdapat kepastian,
kapan perkawinan itu dianggap sah. Tetapi Pengadilan Raad Kerta pada jaman
Belanda, lazim menjatuhkan putusan bahwa perkawinan itu sah setelah dilakukan
upacara mebyakala. Yurisprudensi Raad Kerta kemudian mendapat dukungan dari
Parisada Hindu Dharma, dimana sahnya perkawinan adalah setelah dilakukan
upacara mebyakala.
Macam-macam perkawinan
di Bali :
1. Perkawinan dengan cara mepadik atau menrinang.
Macam perkawinan ini didahului dengan
peminangan dari keluarga pihak calon suami (purusa) kepada keluarga pihak calon
isteri (pradana). Apabila pinangan diterima, maka pada hari yang telah
ditentukan kaluarga pihak calon suami datang dengan membawa pengikat yang
berupa paweweh dan basan pupur untuk diserahkan kepada kaluarga pihak calon
isteri. Paweweh ini biasanya berupa sejumlah uang, dan basan pupur terdiri dari
seperangkat pakaian wanita beserta perhiasan, sirih, pinang dan lain-lain.
Perkawinan dengan cara mepadik ini
berlaku pada tiap perkawinan yang disetujui oleh orang tua kedua belah pihak.
Dengan selesainya upacara penyerahan paweweh dan basan pupur, berarti kedua
calon mempelai telah bertunangan (magegatan). Kemudian di tentukanlah waktu
upacara perkawinan akan dilaksanakan, dimana keluarga pihak lak-taki menjemput
calon mempelai perempuan tepat pada hari pelaksanaan upacara perkawinan yang
telah disepakati oleh keluarga dua belah pihak.
2. Perkawinan mejangkepan.
Arti kata mejangkepan disini adalah
menjodohkan. Perkawinan mejangkepan berarti menjodohkan dua orang anak
laki-laki dan perempuan yang didahului dengan perundingan antara orang tua
pihak laki-laki dengan orang tua pihak perempuan. Jika kesepakatan telah
dicapai, maka pada hari yang tetah ditentukan, dilakukanlah peminangan dan
pemberian paweweh serta basan pupur seperti yang dilaksanakan pada perkawinan
dengan cara meminang atau mepadik.
Tujuan dilangsungkan perkawinan mejangkepan
dalam suatu keluarga adalah untuk mencegah anak perempuannya kawin keluarga.
Karena itu anak perempuan tersebut dijodohkan dengan laki-laki dari satu
merajan atau satu kasta.
Perkawinan mejangkepan ini tidak sama
dengan perkawinan nyeburin, dan juga ada sedikit perbedaan dengan perkawinan
mepadik atau meminang. Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa perkawinan
mejangkepan ini juga melalui pinangan dari orang tua pihak laki-laki kapada
orang tua pihak perempuan, dan setelah kawin si perempuan (si isteri tinggal di
rumah suaminya). Status laki-laki dan perempuan dalam perkawinan dengan cara
meminang ialah tetap berstatus sebagai laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam
perkawinan nyehurin si suami berstatus sebagai perempuan, dan si isteri berstatus
sebagai laki-laki.
Beda antara perkawinan mepadik atau
meminang dengan perkawinan mejangkepan adalah bahwa dalam perkawinan mepadik,
sebelum diadakan peminangan, antara calon mempelai laki-laki
dan calon mempelai perempuan sudah saling
mengenal (istilah sekarang adalah berpacaran), sedangkan dalam
perkawinan mejangkepan pada umumnya antara calon mempelai laki-laki dan calon
mempelai perempuan belum pernah berkenalan secara akrab. Jikalau sudah satu
pihak dari calon mempelai tidak setuju dengan hasil perundingan orang tuanya,
maka tujuan perkawinan dapat dibatalkan dan biasanya dapat mengakibatkan
hubungan antara dua keluarga tersebut manjadi retak.
Pada masa sekarang, perkawinan
mejangkepan tidak harus dari satu merajan atau satu kasta. Dapat pula si anak
perempuan itu dijodohkan dengan laki-laki yang berasal dari lain merajan namun
masih sederajat dan biasanya hubungan antara orang tua laki-laki dan orang tua
perempuan sudah saling mengenal sebelum diadakan peminangan.
3. Perkawlnan merangkat atau ngerorod yaitu dengan
cara lari bersama.
Perkawinan ini dilakukan dengan cara
"lari bersama", dimana si laki dan wanita yang akan kawin, pergi
bersamaan (biasanya secara sembunyi-sembunyi) meninggalkan rumahnya
rnasing-masing dan bersembunyi pada keluarga lain (pihak ke III).
4. Perkawinan Ngunggahin.
Dalam perkawinan ini, wanita datang
kerumah si laki-laki , minta supaya wanita itu dikawini. Biasanya hal ini
terjadi dalam keadaan yang luar biasa. Si wanita sudah hamil, dihamili oleh
laki-laki yang didatanginya, dan minta pertanggung jawaban, supaya wanita ini
dikawini. Perkawinan semacam ini merupakan "penghinaan' terhadap wanita
dan keluarganya. Tetapi masih dapat terjadi dalam keadaan seperti diatas.
Pada umumnya yang terjadi di Indonesia
apabila sepasang laki-laki dan perempuan akan melangsungkan pernikahan pihak
laki-laki akan mendatangi rumah pihak perempuan untuk meminangnya. Namun yang
terjadi pada budaya perkawinan di Bali terutama perkawinan ngunggahin yang
terjadi adalah sebaliknya. Ini tentu akan menyebabkan bias gender, dimana
peranan perempuan dipermalukan.
Bias gender
adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan dengan sifat feminism dipandang selayaknya berperan di
sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di
sektor publik. Bias Gender adalah kebijakan / program / kegiatan atau kondisi
yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin.
Kasus
“Perempuan adalah betina yang bersifat pasif,
siap, dan menunggu jantan; betina bisa saja “mengundang” jantan, tetapi tidak
bisa melaksanakan kopulasi dan pada akhirnya jantanlah yang melakukan kopulasi bahwa kopulasi jantan di atas betina (Piyatna, 2002 : 122, dalam jiwa
Atmajaya, 2008).”
Perkawinan ngunggahin adalah perkawinan yang
dikehendaki oleh calon mempelai wanita sendiri tanpa sepengetahuan orang tua
atau walinya. Dalam tulisan Jelantik Sushila, yang menjelaskan bahwa tata cara
perkawinan ngunggahin sangat jarang dilakukan dan tidak popular. Karena, tata
cara ini merendahkan martabat seorang perempuan. Sedangkan umat Hindu, sangat
menghormati kedudukan dan peranan perempuan. Namun demikian, jalan ini tetap
ada sebagai suatu cara seorang perempuan yang entah apa penyebabnya mendatangi
seorang laki-laki serta minta untuk dikawini dan hal ini bagi keluarga
perempuan benar-benar kasus yang memalukan dan memilukan.
Pernyataan Shusila mempresentasikan pandangan
dunia masyarakat Bali mengenai tata cara perkawinan dimana wanita tidak lazim
mengambil inisiatif. Pandangan dunia ini berlandaskan sikap ambivalen bahwa di
satu sisi perempuan Bali dikatakan sangat dihargai, namun di sisi yang lain
manakala ia mengambil inisiatif dalam merencanakan perkawinan karena alasan
tertentu dianggap peristiwa yang luar biasa, memalukan, dan memilukan. Istilah
memalukan dan memilukan dapat memunculkan pandangan dari kepurusan atau dari
kekuasaan patrikal masyarakat Bali, bahwa yang menentukan dan mengatur
perkawinan, termasuk memilih pasangan seksual adalah laki-laki, bukan perempuan
Analisis Kasus
Idiologi masyarakat Bali mengenai sistem
patriarki dijelaskan bahwa hukum kekeluargaan di Bali berdasarkan Patriarkat yaitu hubungan seorang anak dengan
keluarga bapaknya menjadi dasar tunggal bagi susunan keluarganya. Keluarga dari
bapak atau keluarga dari pancar laki (kepurusa) adalah hal yang paling penting,
oleh karena itu kelahiran anak laki – laki itu merupakan hal yang sangat
penting. Dari persepsi budaya Bali mengenai pernikahan perempuan lebih banyak
dikenai berbagai macam aturan dan
konsekuensi, dan sementara itu suksesi dan ahli waris diturunkan pada anak laki
– lakinya. Selanjutnya dari sudut pandang
stratifikasi sosial dalam masyarakat Bali menurut Panetje mengatakan
bahwa dalam pernikahan, sesuai dengan ketentuan hukum adat tahun 1910,
pernikahan seorang laki – laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah
merupakan suatu pelanggaran. Dari beberapa pandangan diatas dapat menimbulkan
konflik bagi kaum wanita seperti contoh kasus diatas ketika perempuan mempunyai
inisiatif tentang pasangan hidupnya maka keluarga, agama, persepsi masyarakat
Bali, ideologi akan menghancurkan harapan dari perempuan tersebut. Di zaman
modern seperti sekarang ini menuntut wanita untuk aktif dalam mengambil
keputusan namun jika hal di atas itu terjadi
maka perempuan akan mengalami stress sosial, hal ini terjadi ketika
keluarga mengatakan hal yang memalukan dan memilukan belum lagi adat menjatuhi
hukuman dari hal ini perempuan tertekan baik secara sosial maupun secara
psikologis. Pada masyarakat Bali, laki – laki lebih berkuasa dan perempuan
tidak memiliki kekuasaan apa – apa. Bias gender terjadi dalam contoh kasus
upacara perkawinan di atas, jika
perempuan berinisiatif meminang pria untuk menjadikan suami maka bagi keluarga
itu dianggap sebagai hal yang memilukan, oleh karena itu peran dari pendidikan
bagi orang tua itu penting mengenai pernikahan supaya dapat memutuskan rantai
pemisah antara kebudayaan dan modernisasi saat ini khususnya kaum perempuan.
Daftar Pustaka:
Atmaja
J. (2008). Bias Gender Perkawinan
Terlarang Pada Masyarakat Bali. Denpasar: Udayana University Press
Kurniawati
D. (2009). Relasi Gender Dalam Masyarakat
Bali: Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar