Oleh : Andika Nur Puspitasari / 802011114 / MD302A
Siapa yang tidak bangga
terhadap kesenian tari Indonesia yang begitu banyak. Dari sekian banyak Negara
yang ada di dunia, Indonesialah yang memiliki kesenian tari yang sangat
beragam. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap suku memiliki seni tari
yang berbeda, mereka memiliki seni tari khas daerah mereka sendiri. Di
Indonesia, terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Akan tetapi, saat
ini banyak seni tari yang dimiliki Indonesia, tidak terwarisi dengan baik dari
generasi ke generasi berikutnya. Perubahan dan perkembangan zaman, hampir
mengikis keberadaan banyak seni tari yang ada. Salah satu seni tari yang sudah
hampir punah adalah kesenian sintren.
Sejarah Tari Sintren
Tari
Sintren Jawa Tengah berasal dari kisah
Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari.
Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak,
namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya
R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun
demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam
gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh
bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa
dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di
antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan
sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan
bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Pertunjukan
Tari
Untuk menjadi seorang sintren,
persyaratan yang utama adalah penari diharuskan masih gadis dan perawan. Hal
ini dikarenakan seorang sintren harus dalam keadaan suci dan penari
sintren merupakan “bidadari” dalam pertunjukan. Bahkan sebelum menjadi seorang
sintren sang gadis diharuskan berpuasa terlebih dahulu, hal ini dimaksudkan
agar tubuh si gadis tetap dalam keadaan suci. Karena dengan berpuasa otomatis
si gadis akan menjaga pola makannya, selain itu dia akan menjaga tingkah lakunya
agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga tidak menyulitkan bagi roh atau
dewa yang akan masuk kedalam tubuhnya.
Ada beberapa istilah dalam
kesenian sintren. Yang pertama adalah paripurna. Yaitu tahapan menjadikan
sintren yang dilakukan oleh Pawang, dengan membawa calon penari sintren bersama
dengan 4 (empat) orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari
patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh
Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Dalam
paripurna, pawang segera menjadikan penari sintren melalui tiga tahap:
·
Tahap Pertama, pawang memegang
kedua tangan calon penari sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan
sambil mengucapkan mantra, selanjutnya calon penari sintren diikat dengan tali
yang dililitakan ke seluruh tubuh.
·
Tahap Kedua, calon penari
sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana sintren dan
perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren
sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan
kembali.
·
Tahap Ketiga, setelah ada
tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang)
kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain
menari adakalanya sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri
diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan sintren berlangsung,
pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.
Istilah yang kedua adalah
balangan (Jawa : mbalang). Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang
menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari
sintren. Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada
saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari
sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari
sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren
dapat melanjutkan menari lagi. Kemudian, penonton yang melemparkan uang
tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren.
Kemudian yang terakhir adalah
istilah temohan. Temohan adalah penari sintren dengan nyiru/tampah atau nampan
mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya. Sebelum
memulai pertunjukan, maka akan dilakukan Dupan. Dupan, yaitu acara berdoa
bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Mulainya pertunjukan, adalah
saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan
kesenian sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton.
Kemudian juru kawih akan membacakan mantra-mantra, “tambak tambak pawon. Isie
dandang kukusan. Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul” mantra ini untuk
memanggil penonton, juru kawih tidak akan berenti membacakan mantra tersebut
hingga penonton kumpul.
Kemudian
saat sintren akan dimasukkan roh. Biasanya roh yang diundang adalah roh Dewi
Lanjar, jika sang Dewi Lanjar, maka penari akan terlihat lebih cantik dan
membawakan tarian dengan cantik dan mempesona. Mantra yang biasa dinyanyikan untuk
memanggil Dewi Lanjar agar masuk ke dalam tubuh penari adalah “nemu kembang
yona yoni, kembange siti mahendra, widadari temurunan, merasuki badan nira”.
Kemudian setelah roh sudah masuk kedalam tubuh penari, maka kurungan akan
dibuka. Kemudian juru kawih membacakan syair selanjutnya “kembang trate, dituku
disebrang kana, kartini dirante, kang rante aran man grana”. Maka
munculah penari sintren yang sudah cantik jelita.
Tempat yang digunakan untuk
pertunjukan kesenian sintren adalah arena terbuka. Hal ini di maksudkan agar
pertunjukan yang sedang berlangsung tidak terlihat batas antara penonton dengan
penari sintren maupun pendukungnya. Pertunjukan sintren ini umunya lebih
komunikatif, artinya ada interaksi antara pemain dengan penonton. Bisa dibuktikan
pada saat acara balangan dan temohan, dimana antara penonton dan penari sintren
terlihat menyatu dalam satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton
melakukan balangan pada penari sintren. Sintren yang menari biasanya didampingi
dengan penari pendamping dan seorang bodor atau pelawak. Lagu-lagu yang
dimainkan biasanya lagu jawa. Alat music yang digunakan, awalnya merupakan alat
yang sederhana. Seperti, gending dan alat yang menyerupai dandang dan nampah,
namun tetap asik untuk didengarkan. Berbeda dengan sekarang, alat music yang
digunakan menggunakan orkes. Mungkin hal ini dilakukan untuk mengikuti
perkembangan zaman dan menarik banyak perhatian orang untuk menyaksikan
pertunjukan sintren.
Busana yang digunakan penari
sintren dulunya berupa pakaian kebaya (untuk atasan) . Busana kebaya ini lebih
banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai busana keseharian.
Sekarang ini penari sintren umunya menggunakan busana golek yang lebih
nyentrik.
Dan berikut adalah penjelasan busana golek yang
digunakan oleh sintren saat ini :
·
Baju keseharian, yang dipakai
sebelum pertunjukan kesenian sintren berlangsung.
·
Baju golek, adalah baju
tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari golek.
·
Kain atau jarit, model busana
wanita Jawa.
·
Celana Cinde, yaitu celana tiga
perempat yang panjangnya hanya sampai lutut.
·
Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar
dari bahan kain yang biasa dipakai untuk mengikat sampur.
·
Sampur, berjumlah
sehelai/selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan di samping kiri dan
kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
·
Jamang, adalah hiasan yang
dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di samping kanan dan kiri telinga
sebagai koncer.
·
Kaos kaki hitam dan putih,
seperti ciri khas kesenian tradisional lain khususnya di Jateng.
·
Kacamata Hitam, berfungsi
sebagai penutup mata karena selama menari, sintren selalu memejamkan mata
akibat kerasukan “trance”, juga sebagai ciri khas kesenian sintren dan menambah
daya tarik/mempercantik penampilan.
Pertunjukan
sintren awalnya disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan purnama dan
menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau dipentaskan pada malam
kliwon, karena di dalam kesenian sintren terdapat ritual dan gerakan yang
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma menjadi satu
dengan penari sintren. Kesenian sintren ini sudah termasuk kesenian yang
langka. Bahkan di daerah asalnya sendiri kita sulit menemukan grup sintren.
Sungguh beruntung sekali orang yang pernah menyaksikan kesenian ini secara
langsung.
Kelangkaan
kesenian ini, juga bersumber dari masyarakat Indonesia yang tidak mau
melestarikan dan mencintai kesenian mereka sendiri. Jangankan untuk mencintai
kesenian sintren, menjadi salah satu bagian dari pertunjukan inipun mungkin
mereka harus berfikir dua kali. Bisa saja mereka berat harus menjalankan ritual
yang menjadi syarat penari sintren. Misalnya masih harus gadis dan belum
menikah. Selain itu harus bersedia dimasuki roh didalam tubuhnya.
Di
masa globalisasi, sesungguhnya sangat mudah melestarikan kesenian sintren.
Jangan sampai kesenian sintren ini hilang di makan zaman. Ada beberapa cara
melestarikan kesenian ini, meskipun kita tidak harus menjadi bagian dari grup
sintren, kita bisa menjadikan pertunjukan sintren sebagai objek utama dalam
kebutuhan wisata budaya. Tidak sulit sesungguhnya menjadikan sebuah kesenian
menjadi objek wisata budaya. Hanya dengan keinginan yang besar , kecintaan
terhadap kesenian sintren dan kemampuan bekerjasama dengan grup kesenian
sintren, semua akan berjalan dengan baik. Namun, kita tidak perlu khawatir akan
kelangkaan kesenian ini di masa globalisasi. Dari sekian juta lebih masyarakat
Indonesia, ternyata masih ada yang mau melestarikan kesenian ini. Di tahun
2002, kesenian ini pernah diangkat kedalam sebuah film local berjudul sintren
oh sintren. Film produksi Sindoro Multimedia Studio’s tersebut menceritakan
tentang keinginan seseorang untuk menghidupkan kembali tradisi kesenian
sintren. Meskipun hanya tersisa sedikit,
setidaknya ada bagian masyarakat Indonesia yang mau melestarikannya. Warisan
budaya nenek moyang ini, jangan sampai hilang di telan zaman yang semakin
modern. Orisinalitas juga harus tetap dijaga dalam pertunjukan kesenian
ini. Budaya kita adalah budaya Indonesia, kesenian kita adalah kesenian Indonesia. Jangan
lebih kita mencintai budaya asing, tetapi pelajarilah kesenian dan budaya yang
lebih mewah yang kita miliki di Negara tercinta ini, Indonesia. Kalau
bukan kita sendiri yang mau melestarikan kesenian yang unik ini? Siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar