Oleh : Theresia Wenny O. P. W / 672012018/ MD302B
Alasan mengapa saya menulis artikel ini dikarenakan adanya kekerasan terhadap seorang wanita. Kekerasan ini disebabkan karena belum setaranya gender yang ada di Indonesia jadi saya ingin memberikan penjelasan tentang gender agar tidak terjadi kekerasan dan mengetahui kesetraan antara kaum laki-laki dan wanita.
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan
orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini
juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran
gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di
kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa,
diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya
mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum
perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang
kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami
kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita
tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk
pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman
arti pria dan wanita dalam berbagai kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan
konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto,
1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum
feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak
pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum
laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin
muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan
perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki
dan perempuan akan istilah gender itu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender
tersebut.
Pengertian
Gender
Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi
tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah
mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang
dimaksud dengan konsep gender dan apa
kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum
perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori Ibu R.A Kartini tetapi juga
di berbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna atas
istilah gender ini telah
mengakibatkan perjuangan gender menghadapi
banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa
terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri
yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.
Konsep gender pertama
kali harus dibedakan dari konsep seks
atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa
sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka
dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis
kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan
memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim
sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami
kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua
tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain.
Berbeda dengan seks
atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika
ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat
manusia, istilah gender yang diserap
dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam
Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah
mengubah gender menjadi jender---
merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3
September 1995)
Oleh karena gender
merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk
jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat
ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan
salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang
sejarahwan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat
pada laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang lelaki lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih
pintar, lebih cocok untuk bekerja di
luar rumah dan bahwa seorang perempuan
itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok
untuk berkerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan
membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah
kodrat karena
itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarakan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke
waktu, di suatu daerah yang lainnya. Oleh
karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal.
Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan
lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan
rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan
kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin
perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan
perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah
kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang
sering memahami konsep gender yang
merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”,
sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah
dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk
sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
Menuju
Penyuluhan Berperspektif Gender
Sebagaimana telah dikemukakan
Penulis, salah satu kendala belum terwujudnya kesetaraan gender adalah dari
sisi perempuan sendiri, di mana masih banyak dari mereka yang belum mempunyai
kesadaran tinggi untuk memperjuangkan hak-haknya disebabkan masih terpenjara
oleh ideologi patriarkhi. Akibatnya, mereka belum dapat mengoptimalkan potensi
yang mereka miliki. Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan Human Development
Index (HDI) Indonesia (yang dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan dan
ekonomi) masih rendah, jauh lebih rendah di bawah negara tetangga kita seperti
Singapura dan Malaysia. Meskipun tidak secara eksplisit Penulis menyebutkan
perlunya sebuah proses penyuluhan berperspektif gender, akan tetapi dari runtutan penuturannya, tampak bahwa salah
satu upaya menumbuhkan kesadaran dan motivasi diri di kalangan kaum perempuan
adalah melalui proses penyuluhan, tepatnya penyuluhan yang berperspektif gender. Artinya, suatu penyuluhan yang
berorientasi pada upaya memberdayakan kaum perempuan dan sekaligus menjembatani
kesenjangan gender yang ada di banyak bidang. Dengan paradigma tersebut, maka
seorang penyuluh diharapkan tidak melakukan langkah-langkah yang masih buta gender.
Sebagai contoh, dengan fakta
bahwa kaum perempuan juga terlibat dalam bidang pertanian, maka seorang
penyuluh pertanian hendaknya juga memiliki komitmen untuk ikut memberdayakan
petani perempuan. Demikian juga untuk bidang-bidang lainnya. Atas dasar hal
tersebut, maka buku ini juga perlu dibaca oleh mereka-mereka yang terlibat dan concern di bidang penyuluhan, termasuk
para pembuat kebijakan dan akademisi.
Setelah membaca artikel diatas
sebaiknya pembaca khususnya untuk para laki-laki jangan hanya menganggap wanita
sebagai kaum lemah yang hanya bisa mengurus rumah tangga saja. Karena wanita
juga bisa bertindak sebagai seorang pemimpin dan memiliki hak yang sama seperti
yang dimiliki oleh laki-laki. Dan wanita pun tidak layak untuk mendapat
kekerasan dalam rumah tangga. Demikian, semoga artikel opini tentang gender ini dapat memberikan bahan
referensi yang berguna bagi para pembaca.
Daftar
Pustaka:
Buku
Wiloso, Pamerdi Giri Wiloso. (2012). Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Salatiga. Fiskom Press
Jurnal
Jurnal Penyuluhan Memperkecil Kesenjangan
Gender Melalui Kebijakan Pengarusutamaan Gender
Tidak ada komentar:
Posting Komentar