Oleh
: Sharah Azizah / 602012602 / MD302B
Dalam
dekade 1960-an dan 1970-an, berbagai peristiwa telah menimbulkan pengaruh yang
besar di dunia. Pembangunan yag cepat dan luas dalam bidang transportasi dan
komunikasi menyebabkan dunia “susut”, kita memasuki era dunia. Mobilitas kita
telah meningkat sehingga jarak tidak lagi merupakan masalah. Pesawat-pesawat
jet dapat membawa kita kemana saja dengan waktu yang singkat; orang-orang di
seluruh dunia bergerak. Para pedagang internasional, mahasiswa-mahasiswa asing,
diplomat-diplomat, dan terutama turis-turis masuk dan keluar dari aneka ragam
budaya yang sering tampak asing dan kadang-kadang misterius. Kini kita
mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan hubungan-hubungan antarbudaya dalam
kehidupan kita sehari-hari. Terkait dengan masalah komunikasi antarbudaya,
komunikasi antarbudaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu
budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya lain.[1]
Dalam
keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam
suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan haus disandi
balik dalam budaya lain. Seperti kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang
berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku
komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya,
perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan
berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan.[2]
Budaya
dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan
siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan,
makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan
komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula
praktik-praktik komunikasi.[3]
Komunikasi
dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat
perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara bagaimana
manusia berkomunikasi dengan melintasi komunitas manusia atau kelompok
sosialnya. Pelintasan komunikasi tersebut menggunakan kode-kode pesan baik
secara verbal maupun non-verbal, yang secara alamiah selalu digunakan dalam
konteks interaksi. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan juga meliputi
bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serta
pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya,
kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang
melibatkan interaksi antar manusia. Sehingga, dapat dirumuskan bahwa komunikasi
antar budaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, bisa berbeda secara ras, etnis, atau
sosio-ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Sementara itu kebudayaan
merupakan cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta
berlangsung dari generasi ke generasi.
-GLOBALISASI-
Kemampuan
untuk menindahkan produk, perlengkapan, manusia, informasi, dan sekuritas
dengan cepat ke seluruh dunia, tanpa masalah batas nasional atau internasional,
telah meningkatkan apa yang biasanya disebut dengan kerja sama antar negara.
Kehadiran dan daya jangkaunya terkadang sulit untuk dimengerti. Misalnya, McDonald
tersibuk berada di Munich, Jerman, dan toko 7-Eleven paling aktif berada di
Samutparkam, Thailand. Ada lebih dari 11.000 Kentucky Fried Chicken yang
terdapat di lebih dari 80 negara. Gerai es krim Baskin-Robbins dapat dibeli di
lebih dari 5.800 gerai, di mana 2.700 gerainya berada di luar Amerika Serikat.
Per bulan Mei 2007, Toyota Motor Corporation, penghasil kendaraan terbesar di
dunia, mengoperasikan “52 pabrik luar negeri di 26 negara/wilayah” dan
memasarkan “kendaraan di lebih dari 170 negara/wilayah.” General Electric
mengumpulkan laba sebesar 163,3 miliar dolar, mempekerjakan lebih dari 300.000
orang dan beroperasi di lebih dari 100 negara pada tahun 2007.[4]
Bila
komunikasi terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama,
tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin, komunikasi
demikian disebut komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya sering
dipertukarkan dengan dengan istilah komunikasi lintas budaya (cross-cultural
communication) dan terkadang diasosiasikan dengan komunikasi antaretnik
(interethnic communication). Komunikasi antar budaya sebenarnya lebih inklusif
daripada komunikasi antaretnik atau komunikasi antar ras, karena bidang yang
dipelajarinya tidak sekadar komunikasi antara dua kelompok etnik atau dua
kelompok ras. Komunikasi antar budaya lebih informal, personal dan tidak selalu
bersifat antarbangsa / antarnegara, komunikasi internasional cenderung
mempelajari komunikasi anatrbangsa lewat saluran-saluran formal dan media
massa.[5]
Komunikasi
antar budaya juga terlihat dalam komunikasi antar bangsa. Ketika mahasiswa
menonton MTV, NBC, BBC, misalnya sadar ataupun tidak sadar, mereka sedang
bersentuhan budaya di luar dirinya. Di sini peran media massa sangat besar di
dalam memperkenalkan budaya lain, yang bahkan mempengaruhi budaya lawan
komunikasinya. Namun apapun konteks di mana komunikasi antar/lintas budaya
berlangsung, dalam peristiwa tersebut penyesuaian diri atau adaptasi mesthi
terjadi diantara pihak-pihak yang berkomunikasi yang berbeda dalam latar
belakang budaya lantaran perbedaan ras, etnis, klas sosial-ekonomi, kebangsaan,
agama, daerah asal, dan status mayoritas-minoritas. Penyesuaian dalam
komunikasi antar budaya yang berhasil melibatkan munculnya fakor-faktor
indikasi rasa seperti kepuasaan dan kenyamanan; saling hormat, -krasan, -akrab;
dan, tercapainya tujuan kegiatan seperti memperoleh gelar universitas
sebagaimana mesthi dicapai oleh setiap mahasiswa asing, mencapai kesepakatan
perjanjian perdagangan bagi pembisnis asing, serta rampungnya proyek
pembangunan bagi penasehat teknik bantuan asing. Salah satu ciri abad 20,
terlebih abad 21 adalah semakin banyaknya jumlah orang yang harus mengalami
interaksi/komunikasi antar budaya. Disamping menjalankan peran sebagai
mahasiswa asing, pembisnis asing, dan penasihat teknik bantuan asing,
interaksi/komunikasi antar budaya juga diperankan oleh tenaga misionaris, juru
dakwah, diplomat, tentara asing, imigran, wisatawan, tenaga kerja asing seperti
TKI-TKW, dan sebagainya[6]
- Faktor-Faktor yang Disebut Komunikasi Antar Budaya-
Faktor-faktor yang termasuk dalam Komunikasi
Antar Budaya dalam buku “Komunikasi Lintas Budaya”:[7]
(1.) Globalisasi
: dari sudut pandang antropologis, globalisasi merupakan “Keterkaitan
menyeluruh, bukti dari pergerakan global dari sumber daya alam, perdagangan
barang-barang, tenaga kerja manusia, modal keuangan, informasi, dan penyakit
menular.
(2.) Konflik
dan Keamanan Internasional : dunia sekarang menjadi tempat yang semakin
berbahaya dibandingkan beberapa dekade lalu. Pemanasan global terus menerus
akan mengakibatkan kekurangan air diseluruh dunia dan akan membuat bagian dunia
menjadi miskin dan tidak stabil yang lebih rentan terhadap perang, terorisme,
dan kebutuhan akan intervensi internasional.
(3.) Kompetisi
Dunia untuk Sumber Daya Alam : kenaikan harga sumber daya alam secara jelas
berdampak buruk kepada negara dunia ketiga. Kenaikan harga minyak secara alami
mengarah kepada kenaikan yang sama pada biaya produksi makanan, biaya yang
dibebankan pada konsumen. Secara bersamaan, hal ini menyebabkan kenaikan harga
dan kelangkaan bahan makanan di banyak tempat di Afrika, Asia Tenggara, dan
Asia Selatan.
(4.) Masalah
Pelayanan Kesehatan Dunia : hubungan global sekarang ini juga memengaruhi
masalah pelayanan kesehatan pada saat ini dan yang akan datang. Badan Kesehatan
Dunia (World Health Organization) berusaha untuk mendeteksi, memonitor, dan
melaporkan sejumlah kejadian akibat penyakit SARS yang dapat tersebar dengan
mudah melalui wisatawan mancanegara. Selain itu pemanasan global juga menjamin
peningkatan angka kematian karena diare, malaria, dan demam berdarah di negara
miskin.
(5.) Perubahan
Populasi : populasi dunia meningkat sehingga menyebabkan kondisi kehidupan yang
tidak dapat dipertahankan lagi dan kurangnya kesempatan ekonomi akan mendorong
orang untuk melirik dunia maju.
-Perbedaan Kebiasaan Sehari-hari
Masyarakat Indonesia dengan Masyarakat Barat -
Setiap
orang mempunyai suatu sistem pengetahuan dari budayanya berupa realitas yang
tak pernah dipersoalkan lagi (Schutz, 1970). Realitas ini menyediakan skema
interpretatif bagi seseorang untuk menafsirkan tindakannya dan tindakan orang
lain. Sistem makna kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan tema nilai (value themes).[8]
Teori
diatas mungkin membantu menjelaskan beberapa bentuk pertemuan yang melibatkan
orang-orang Barat dan orang-orang Indonesia. Berikut adalah contohnya:
‘Hello’,
‘How are you?’ ‘Good Morning.’ ‘Have you eaten yet?’ ‘Where are you going?’
These are greetings which people use in diffrent languages when they meet each
other. But what is a greeting?
A
greeting is a way of being friendly to someone. It is a way of being polite. It
is also a way of starting a conversation. In many languages a question is used
as q greeting: ‘where are you going?’ ‘how is everything with you?’ But
questions like these are not real questions. They do not require a full qnswer
or even a true one. In English, for example, the commonest greeting is a
question a person’s health: ‘How are you?’ But we do not expect the person to
tell us about their health when they reply. We do not expect them to talk about
their heandache or their backache, if they have one. People reply to these
questions with a fixed expression such as ‘I’m fine, thanks’ or ‘i’m very well,
thanks.’ In the same way, in countries where people greet each other with
‘Where are you going?’, a simple reply such as ‘Just walking around’ is
sufficient. It is not necessary to describe where you are actually going.
In
the most languages, a greeting is usually followed by ‘small talk’. Small talk
means the little things we talk about at the start of a conversation. In
English speaking countries people often make small talk about the weather:
‘Nice day, isn’t it?’ ‘Terrible weathe, isn’t it?’ But there is something
special about small talk. It must be about something which both people have the
same opinion about. The purpose of small talk is to let both people agree on
something. This makes meeting people easier and more comfortable. People usually
agree about weather, so it is a safe topic for small talk. But people often
disagree about religion or politics so these are not suitable topics for small
in English. The topics for small talk also depend on where the conversation is
taking place. At football matches, people make small talk about the game they
are watching: ‘Great game, isn’t it?’ At bus stop, people may comment about the
transport system: ‘The buses are very slow these days, aren’t they?’
Greeting
and small talk are an important part of conversation in any language. The way
people greet each other and the things they talk about, however, may be
different from one language to another. This shows that there is much more to
learn when we learn language than just the vocabulary and the grammar of the
language. We also have to learn the social behavior of the people who speak it.[9]
Kehidupan
sosial dibentuk oleh serangkaian peristiwa kecil. Dari kejadian-kejadian sosial
biasa dan sehari-hari itulah kita membangun dan menerapkan bentuk-bentuk budaya
kita – permainan-permainan kehidupan, dengan aturan-aturan dan nilai-nilainya.
Juga dari peristiwa-peristiwa kecil sehari-hari ini pula fenomena “gegar
budaya” timbul.[10]
Komunikasi
antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Pada dasarnya setiap
kali terjadi perbedaan budaya antara komunikator dan komunikate, setiap itu
terjadi komunikasi antar budaya. Karena itu, penelitian komunikasi antar budaya
memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu
berinteraksi proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi
berinteraksi dengan komponen-komponen budaya.[11]
Berdasarkan
data-data yang sudah dipaparkan di atas tentang komunikasi antar budaya
masyarakat Indonesia dan masyarakat Barat, maka ada beberapa masalah yang dapat
kita lihat, diantaranya: (1.) Dunia semakin menyusut dikarenakan adanya
globalisasi (2.) kita masih cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu
kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi (3) masih terbatasnya pengetahuan kita
tentang kebiasaan sehari-hari dari kelompok lain sehingga memunculkan konflik
yang dapat menghambat komunikasi antar budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mulyana, Deddy dan Rakhmad,
Jalaludin., Komunikasi Antar Budaya.,
(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001),
Richard , J.C. dan Long, M.N.., BREAKTHROUGHT a course in english communication practice., (Oxford:
Oxford University Press, 1984),
Wiloso , Pamerdi Giri., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.,
(Salatiga: Widya Sari Press, 2010), 153-154.
Samovar,
Larry A., Porter, Richard E. , McDaniel,
Edwin R.., Komunikasi Lintas Budaya.,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
[1] Deddy Mulyana dan
Jalaludin Rakhmad., Komunikasi Antar
Budaya., (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 11-12.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Larry A. Samovar I Richard
E. Porter I Edwin R. McDaniel., Komunikasi
Lintas Budaya., (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 3-4.
[5] Deddy Mulyana dan
Jalaludin Rakhmad., Komunikasi Antar
Budaya., (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), v.
[6] Pamerdi Giri Wiloso., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.,
(Salatiga: Widya Sari Press, 2010), 153-154.
[7] Larry A. Samovar I Richard
E. Porter I Edwin R. McDaniel., Komunikasi
Lintas Budaya., (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
[8] Deddy Mulyana dan
Jalaludin Rakhmad., Komunikasi Antar
Budaya., (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 178-179.
[9] J.C.Richard dan M.N.Long.,
BREAKTHROUGHT a course in english communication practice., (Oxford:
Oxford University Press, 1984), 7-8.
[10] Deddy Mulyana dan
Jalaludin Rakhmad., Komunikasi Antar
Budaya., (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2001), 180-181.
[11] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar