Saya seorang mahasisiwi
yang berada dalam suatu Negara yang sangat menjunjung tinggi rasa keadilan dan
notabene adalah sebuah Negara hukum. Hal ini menarik , sebab dengan image yang telah diciptakan , pelaksanaan
hukum dan adanya rasa keadilan di Negara ini terkesan sangat memprihatinkan.
Disini saya berargument
sebagai warga Negara yang cukup merasa khawatir dengan kelangsungan hidup
bangsa , dan dalam aturan Negara saya, sangat diperbolehkan untuk mengungkapkan
apa saja yang ada dalam pikiran saya tentang Negara ini. Namun biar
bagaimanapun saya tetap warga Negara yang mencintai bangsa saya dan bangga
menjadi warga Negara Indonesia.
Membicarakan hukum tidak
lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah
keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan
pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan
yang menguasai filsafat hukum.
Berbicara tentang hukum dan
keadilan di Indonesia , menjadi salah satu topik yang sangat kontroversial
dikalangan berbagai pihak. Banyaknya kritik-kritik yang cukup pedas yang
dilontarkan para pejuang keadilan cukup membuat panas telinga penegak hukum dan
keadilan di Negara kita.
Bagaimana tidak? Hukum dan keadilan di Indonesia berubah
menjadi sebuah boneka yang dapat dimainkan dan dapat dikendalikan. Hukum dan
keadilan hanya menjadi sebuah formalitas Negara yang tidak diorganisasi dengan
baik dan bersih. “Siapa punya uang , dia menang ! “ sebuah kalimat sindiran
yang sering dilontarkan oleh pejuang-pejuang hukum dan keadilan di Negara kita.
Berbicara tentang ulasan
diatas , apakah memang separah itu keadaan hukum dan keadilan di Indonesia?
Biarkan fenomena-fenomena ini yang menjawab . Pada akhir tahun 2009 , warga
Indonesia termasuk saya menaruh perhatian yang besar terhadap seorang nenek
yang harus mengikuti persidangan beberapa kali hanya karena ia mengambil 3 buah
coklat yang sudah jatuh dari pohonnya. Dengan kejadiaan yang bisa dibilang sangat
sepele saja , seorang nenek harus dikasuskan dan diproses seberat itu
sampai-sampai duduk di kursi pesakitan persidangan , Padahal, dari tiga buah
kakao itu paling banyak didapat 3 ons biji kakao basah. Jika dijual harganya
hanya sekitar Rp 2.000. “Orang yang korupsi miliaran dibiarkan saja. Tapi ini
hanya memetik tiga buah kakao sampai dibuat berkepanjangan.
Salah satu indikator yang
mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang
terjadi hampir disemua birokrasi dan organisasi sosial . Ironisnya tidak
sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya
. Di sini semakin tampak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa
diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada
pihak lain yang menawarnya. Kenyataan
ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak
kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ”
Penegakan hukum seringkali
timpang bagi warga miskin, dan lebih kuat berpihak kepada mereka yang dekat
dengan kekuasaan dan uang , walaupun hal ini sudah tertulis jelas di
undang-undang tentang penegakan hukum dan keadilan yang harusnya tidak pandang
bulu.
Namun seperti yang kita
tahu , undang-undang juga hanya menjadi komponen Negara yang tidak ada gunanya.
Semua kalah dengan kemewahan , kelimpahan dan kekayaan. Dengan keadaan bangsa
yang seperti ini , siapa sajakah yang menjadi korban? Dan siapa saja yang harus
menelan pil pahit kehidupan yang merupakan dampak dari proses hukum dan
keadilan di Negara ini yang hancur?
Jawabannya adalah rakyat
kecil yang miskin kekuasaan . terlihat sedikit timpang sebab Indonesia dikenal
sebagai Negara yang sangat memperjuangkan rakyat kecil namun pada kenyataannya
rakyat kecil adalah korban dari ketimpangan ini.
Pertanyaan yang muncul
adalah mana yang PEMERINTAH , mana yang RAKYAT KECIL ? Mana yang harusnya
MELAYANI mana yang harus DILAYANI?
Daftar Pustaka :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar