Oleh : Andre
Bagus PA / 672012082 / MD302A
Email : Bagusandre73@gmail.com
A.
Pendahuluan
F
|
olkloradalah bagian dari
kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam tulisan maupun dengan contoh yang disertai dengan gerakan isyarat atau
alat pembantu pengingat (Danandjaja,1997: 2). Folklor juga mempunyai kegunaan
dalam kehidupan bersama suatu kolektif, yaitu sebagai alat pendidik, pelipur
lara, dan proyeksi keinginan masyarakat pemiliknya.
Dalam perkembangannya,
cerita yang melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta dalam jangka waktu yang relatif lama tentu akan mengalami perubahan,
penambahan, dan pengurangan. Begitu pula dengan bentuk permukaan luar
pelaksanaan upacara akan mengalami perubahan dan pergeseran dengan tetap
menjaga nilai, tujuan, maupun kesakralannya. Salah satu penyebabnya adalah
penyebaran cerita yang dilakukan secara lisan, dituturkan dari satu orang ke
orang yang lain, turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Padahal
manusia mempunyai daya ingat dan kemampuan yang terbatas. Untuk itu,
pendokumentasian terhadap cerita rakyat yang mencakup latar belakang dan
sejarah perkembangan Upacara Tradisi Sekaten perlu dilakukan agar tidak hilang
dan mengalami kepudaran.
Cerita rakyat diadakannya
perayaan Sekaten di Surakarta merupakan cerita rakyat milik bersama atau umum
bagi para pendukung cerita tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya antusias
masyarakat yang masih merayakan dengan khidmad selama satu minggu dalam
mengikuti Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adanya kekayaan sastra tersebut dapat
dipergunakan sebagai modal apresiasi sastra, sebab sastra lisan dapat
membimbing masyarakat ke arah pemahaman, gagasan, dan peristiwa berdasarkan
praktik yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad.
Upacara tradisi merupakan
bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk
menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, dan sesamanya. Sebagai perwujudan
dari itu, Keraton Kasunanan Surakarta sekarang ini masih memiliki beranekaragam
hasil kebudayaan. Hal tersebut masih tercermin dengan dilakukannya beberapa
upacara tradisional, di antaranya: upacara jamasan pusaka, sekaten, upacara
labuhan, upacara garebeg besar, sesaji mahesa, lawung, dan lain sebagainya.
Upacara tradisional tersebut masih terpelihara dengan baik.
Keraton Kasunanan
Surakarta merupakan sebuah kerajaan Islam. Dalam agama Islam, Nabi Muhammad SAW
merupakan Rasul pembawa ajaran Islam di muka bumi, sehingga hari kelahiran
beliau diperingati oleh umat Islam, karena Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
kebenaran. Selain itu dalam ajaran Islam disebutkan bahwa orang harus selalu
bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan. Oleh sebab itu,
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, Keraton Kasunanan Surakarta mengemasnya
dalam bentuk upacara tradisional. Salah satu budaya tradisional yang hingga
saat ini tetap dipertahankan keberadaannya adalah Upacara Tradisi Sekaten di
Keraton Kasunanan Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan
upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut sebagai
wujud rasa syukur tersebut diadakan setiap tahun sekali dalam penyelenggaraan
Sekaten. Perayaan Sekaten ini diadakan setiap 12 Mulud atau 12 Rabiul
Awal.
Pada zaman dahulu orang
Jawa menyukai gamelan, maka pada saat hari raya Islam itu di dalam masjid
diadakan penabuhan gamelan, agar orang-orang menjadi tertarik. Jika masyarakat
sudah berkumpul lalu diberi pelajaran tentang agama Islam. Untuk keperluan itu
para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamai Kyai Sekati. Usul dari
Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali lainnya yaitu pada hari lahir Nabi
Muhammad SAW dalam masjid dipukul gamelan. Ternyata banyak orang datang ke
masjid untuk mendengarkan gamelan Sekaten (Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur
Sari) yang dibunyikan mulai pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore
di Pendopo Masjid Agung. Dan pada puncak acaranya tepat tanggal 12 Rabiul
Awal diadakan Garebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya
gunungan dari keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan (kakung
dan putri) yang bermakna keselamatan dan pembawa berkah.
Upacara Tradisi Sekaten
sebagai aset budaya daerah yang sampai sekarang masih diperingati oleh sebagian
besar masyarakat Surakarta, mempunyai cerita rakyat yang melatarbelakangi
penyelenggaraannya. Cerita rakyat yang terkandung dalam Upacara Tradisi Sekaten
di Surakarta terbentuk dari unsur-unsur intrinsik yang mengandung nilai budaya
dan dibangun oleh konteks masyarakat pendukungnya. Cerita rakyat tersebut perlu
adanya penyebarluasan serta pendokumentasian agar kemurnian cerita aslinya
tidak punah.
Kajian mengenai cerita
rakyat dari berbagai daerah memang sudah sering dilakukan, tetapi setiap
masyarakat memiliki keanekaragaman cerita rakyat sendiri yang berbeda dengan
cerita rakyat masyarakat lainnya. Kajian Upacara Tradisi Sekaten di Keraton
Kasunanan Surakarta ini dilakukan untuk menggali dan mendokumentasikan
keanekaragaman cerita rakyat yang dimiliki masyarakat Indonesia pada umumnya
dan cerita rakyat daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional, sampai kapan pun
kajian cerita rakyat dari berbagai daerah di tanah air Indonesia akan tetap
dilakukan. Upaya pelestarian budaya ini diharapkan dapat menimbulkan rasa
bangga dan memiliki budaya nasional. Sehingga pewarisan nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam cerita tersebut dapat menanamkan nilai budi pekerti sebagai
penyaring budaya asing yang tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.
Upacara
Tradisi Sekaten
G.P.H. Puger dalam
bukunya Sekaten,menjelaskan tentang asal mula dan maksud perayaan yang diadakan
tiap-tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Asal mula Sekaten
dimulai pada jaman Demak, jaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa. Sekaten
diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang
Jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu pada hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang
berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato
tentang agama Islam.
Menurut Supanto (1982:
6), upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan simbol-simbol yang
berperanan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga
merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib. Bagi para warga yang
ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang
berasal dari dunia gaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya terhadap
simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu
tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan
itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat
terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku.
Salah satu bentuk tradisi
yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta. Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu
kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang
untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga
berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara
dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain : menghilangkan
perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber
kerusakan; (3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu
memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan;
(4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai
hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat : batas, orang hidup harus
membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan
kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).
Nilai
Simbolis
Kata simbol berasal dari kata
Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal
kepada seseorang. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S.
Poerwadarminta (2003: 654), simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda,
lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang mengatakan sesuatu hal atau
mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar
padi sebagai kemakmuran.
Nilai merupakan sesuatu
yang dikaitkan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran. Nilai merupakan sesuatu
yang selalu dihargai, dijunjung tinggi, dan selalu disejajarkan oleh manusia
dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dengan nilai manusia dapat merasakan
kepuasan, baik lahir maupun batin. Dengan nilai pula manusia akan mampu
menentukan sikap, cara berpikir, maupun cara bertindak demi mencapai tujuan
hidupnya.
The Liang Gie (dalam
Sutarjo, 1998: 8), mendefinisikan nilai sebagai suatu cita-cita, dan cita-cita
mutlak yang terkenal dalam filsafat adalah hal yang benar, hal yang baik dan
hal yang indah. Pengertian nilai secara sempit sering diasosiasikan sebagai
etika tradisisonal yang ruang lingkupnya berkisar kepada kesejajaran antara
yang baik dan yang buruk. Nilai adalah sesuatu yang dapat digunakan sebagai
tolok ukur atau pedoman, tuntutan yang baik dalam kehidupan masyarakat. Nilai
berfungsi sebagai pengarah dan pendorong seseorang dalam melakukan perbuatan.
Dengan demikian, nilai dapat menimbulkan tekad bagi yang bersangkutan yang
diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari.
Kebudayaan terdiri dari
gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan
perilaku manusia. Begitu erat kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, maka
tidak berlebihan bila manusia tersebut sebagai makhluk bersimbol. Dunia
kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan
bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan yang
simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang jelas membedakannya dari hewan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bisa melihat, menemukan,
dan mengenal dunia secara langsung tetapi melalui simbol-simbol (Herusatoto,
1987: 10)
Simbolisme sangat
menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat
dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi
yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Kata simbol berasal
dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 1987 : 10). Sejalan
dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton Moeliono,1996 : 630),
bahwa “simbol atau lambang ialah : (1) sesuatu seperti tanda (lukisan,lencana,
dan sebagainya) yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu,
misalnya gambar tunas kelapa lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan; (2)
simbol bisa berarti tanda pengenal tetap yang menyatakan sifat, keadaan, dan
sebagainya, seperti peci putih dan serban ialah lambang haji.”
Segala bentuk dan macam
kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional pada dasarnya upaya pendekatan
manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara
hidup, dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
simbolisme dalam masyarakat tradisional disamping membawakan pesan-pesan kepada
generasi berikutnya juga selalu dilaksanakan dalam kaitannya dalam religi
(Herusatoto, 1987 : 30-31). Unsur unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan
sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut Koentjaraningrat adalah bahasa
dan komunikasi, kesenian dan kasusasteraan, keyakinan keagamaan, ritual, ilmu
gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. (1984: 428).
Prosesi
upacara Tradisi Sekaten
Upacara Tradisi Sekaten merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang
masih dilestarikan dan dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat Kelurahan Baluwarti pada khususnya dan
masyarakat Surakarta pada umumnya. Pelaksanaan upacara ini hingga sekarang
masih tetap dilaksanakan setiap tahunnya. Upacara Tradisi Sekaten merupakan suatu
peristiwa tradisional yang sangat populer serta senantiasa menarik perhatian
puluhan ribu pengunjung, tidak saja datang dari daerah sekitar Keraton
Kasunanan Surakarta akan tetapi juga dari tempat-tempat yang jauh. Seperti yang
diungkapkan oleh bapak Walimin selaku abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta,
bahwa pengunjung tidak hanya berasal dari kota surakarta saja, namun daerah di
sekitarnya seperti Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Karanganyar, dan Klaten. Bahkan akhir-akhir ini perayaan sekaten juga menarik
perhatian banyak wisatawan dan orang asing. Namun meski demikian sangat
disayangkan bahwa lama kelamaan perkembangannya menjadi seperti keramaian
biasa, sebab para pengunjungnya kebanyakan sudah lupa atau sama sekali tidak
mengerti akan arti yang sesungguhnya dari perayaan sekaten tersebut. Adapun
waktu pelaksanaannya bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW,
tanggal 5 sampai dengan 12 Rabiul Awal. Atau dalam perhitungan Jawa
jatuh pada tanggal 5 sampai dengan 12 Mulud. G.P.H. Puger menjelaskan,
bahwa upacara ini merupakan momentum sebagai wilujengan ungkapan rasa
syukur kepada Tuhan YME atas segala limpahan nikmat dan karunia yang diberikan.
Untuk tahun 2006, pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta jatuh pada bulan Mulud, tanggal 02 April 2006 tepatnya pada Minggu
Wage.
Perayaan sekaten dimulai
pada tanggal 5 Rabiul Awal dan berakhir dengan Garebeg Mulud
tanggal 12 Rabiul Awal yang ditandai dengan keluarnya gunungan.
Gunungan berasal dari kata gunung, terdiri dari berbagai jenis makanan dan
sayuran yang diatur bersusun meninggi menyerupai gunung.
Pada hari pertama
perayaan sekaten tanggal 5 Rabiul Awal, diawali dengan dikeluarkannya
dua buah gamelan yang merupakan peninggalan jaman Demak dari dalam keraton. Dua
buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton lewat alun-alun kemudian dibawa ke
Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton diadakan selamatan dengan diberi
doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah diadakan serah terima
dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal
Pradonggo di selatan dan utara halaman muka Masjid Agung Surakarta. Gamelan
mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang memerintahkan untuk
membunyikan gamelan, yaitu pada pukul empat sore. Dua buah gamelan tersebut
bernama Kyai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan yang melambangkan
syahadat tauhid. Kyai Guntur Madu merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu
tahun 1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Raja Nitih
Tunggal. Gamelan yang lainnya bernama Kyai Guntur Sari, berada di sebelah
utara dan melambangkan syahadat Rosul. Kyai Guntur Sari merupakan
peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun 1566 Saka. Selama
perayaan sekaten selama satu minggu, Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari
ditabuh secara bergantian.
Pada tanggal 5 Rabiul
Awal tersebut, sebagai awal perayaan sekaten, yang lebih dulu ditabuh adalah
Kyai Guntur Madu dengan memperdengarkan gending Rambu. Rambu berasal dari bahasa
Arab ‘Robbuna’ yang berarti Allah Tuhanku. Rambu
mengisyaratkan gending yang ditabuh khusus untuk penghormatan kepada Tuhan.
Sedangkan Kyai Guntur Sari memperdengarkan gending “Rangkung” yang berasal dari
bahasa Arab “Roukhun” yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung
menurut etimologi atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal
dari kata ‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah,
dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Sedangkan menurut G.P.H. Puger
berpendapat bahwa gending-gending yang pertama dibunyikan, Rambu dan Rangkung
adalah nama dua jin Islam yang berbincang dan sangat setuju atas usaha yang
dilakukan Wali songo dalam penyebaran agama Islam melalui media gamelan.
Gamelan sekaten yang
mulai dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore merupakan
saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang, sehingga masyarakat mulai
berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul
pertama kalinya. Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih
tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda.
Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Namun G.P.H.
Puger menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkannya
bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan
pada jaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan. Terbukti bahwa
masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan
tubuh. Karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit,
menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan akan menyegarkan badan.
Selain itu banyak kita jumpai jika musim sekaten tiba di areal halaman Masjid
Agung akan dipenuhi oleh penjual yang ikut meramaikan perayaan sekaten dengan
menjual berbagai makanan ataupun berbagai barang khas dari sekaten, seperti
misal telur asin, jenang, sirih, pecut, dan mainan anak-anak.
Kemudian dua buah gamelan
tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama perayaan sekaten.
Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan, waktu Ashar
dan Dzuhur berhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu Maghrib
dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 12 malam.
Bila perayaan sekaten jatuh pada hari Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai
Maghrib sampai siang, karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam.
Gamelan tersebut berhenti pada waktu-waktu sholat karena memberikan kesempatan
kepada penabuh gamelan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk
menjalankan kewajiban sholat. Sehingga fungsi perayaan sekaten sebagai syiar
Islam tetap terpelihara.
DAFTAR
PUSTAKA
Anton Moeliono (penyunting). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
________________________. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya.
B. Rahmanto.1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
B. Soelarto. 1993. Garebeg di Kasultanan Yogyakarta. Jakarta:
Kanius.
akarta: Kanisius.
Serat Kabar Sedyatama. 1865. Babad Sekaten: Karaton Kasunanan
Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar