DISUSUN OLEH :
PRADIPTA ANGGA SAPUTRA
682012008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan sistem peradilan modern sebagai
sarana pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun
yang menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan beban
formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu,
keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui
keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan
yang rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern
tidak lain adalah keadilan birokratis.
Penyelesaian sengketa menggunakan
pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak
yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan
dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja
pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa,
menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan
putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.
Kalangan masyarakat bisnis yang
memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas
perdagangannya tatkala terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir
terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.
Dilatarbelakangi oleh kondisi
semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis khususnya, untuk
kemudian berpaling dan memilih model lain dalam penyelesaian sengketa. Meskipun
bentuk penyelesaian yang dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme
pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat
memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan
penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih
tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan
yang lebih manusiawi dan bermartabat. Sekarang permasalahan yang konkrit yang
akan angkat angkat dalam makalah ini adalah bagaimana menyikapi cara
Penyelesain sengketa? Dalam judul “ Hukum Dan Keadilan Dalam Penyelesaian
Sengketa“.
1.1 Tujuan Makalah
Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis
dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
- Memenuhi tugas kuliah sebagai pengganti Tes Tengah Semester Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD).
- Memberikan penjelasan mengenai pengertian Hukum dan Keadilan .
- Membahas Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan.
- Menjelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan.
- Memberikan Penjelasan tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan.
- Mengajak masyarakat / pembaca dalam melakukan perbuatan agar sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia .
1.2 Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang dan tujuan makalah di
atas, maka dapat di tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, antara lain :
- Apa pengertian Hukum dan Keadilan
- Jelaskan tentang Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan
- Jelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
- jelaskan tentang Pengadilan apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan
1.3 Manfaat Makalah
Adapun Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Dapat Mengetahui Pengertian Hukum
dan Keadilan.
2. Dapat Mengetahui tentang Hukum
Modern dan Pendistribusian Keadilan.
3. Dapat Mengetahui Penjelasan tentang
Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan.
4. Dapat Mengetahui tentang Pengadilan
apakah tempat mencari keadilan atau kemenangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum dan Keadilan
Hukum adalah sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan
bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara
negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja
bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan
politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara
hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan
mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
Sedangkan Keadilan adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau
orang. Jadi, keadilan itu berlaku bagi seluruh mahluk hidup maupun bagi
benda-benda yang ada di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya
keterikatan yang terjadi secara alamiah, sehingga seluruh mahluk harus berlaku
adil kepada yang lainnya. Sebagai salah satu jalan mempertahankan keseimbangan
yang alami tersebut.
2.2 Hukum Modern dan Pendistribusian Keadilan
Satjipto Rahardjo3 berpendapat,
untuk menyebarkan fora pendistribusi keadilan tidak semestinya terkonsentrasi
hanya pada satu lembaga yang bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan
tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.
Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak
gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang
ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara.5
Masalahnya karena masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan
saja melalui forum-forum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga
melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat
berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja,
kesepakatan bisnis, dan sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus
yang berakar di lokasi-lokasi tersebut).
Keberadaan lembaga peradilan sebagai
salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan
penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan
dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed)
dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum
modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia
disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai
kaidah positif menjadi kaidah kultural.
Persoalannya, karena sistem hukum
modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan
keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan
individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang
untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel
akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada yang tidak.
Apabila kita terus menerus berpegang
kepada doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam
pusaran kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam
masyarakat. Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka
gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan
melalui forum alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya
merupakan upaya penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu
disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak
sekuat seperti pada abad ke-sembilanbelas, filsafat liberal dalam hukum dewasa
ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan
substansial (substantial justice).
Sebagaimana telah diutarakan di muka
bahwa hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi
baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui
kebijakan kolonial di Hindia-Belanda. Padahal suatu peralihan dari status
sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum
yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa
Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah penegakan,
pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi
penonton dan objek kontrol oleh hukum.
Sedangkan sejak hari kemerdekaannya,
bangsa Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan
hukum, mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.
Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata
hukum (legal order) masyarakat pribumi yang otohton tersebut, maka ada
konsekuensi yang mesti dipikul bangsa Indonesia ketika harus terlibat penuh
dalam penyelenggaraan hukum. Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk
membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior)14 baru dan
budaya hukum untuk mendukung perubahan status dari jajahan ke kemerdekaan.
Dalam kaitan itu, Satjipto Rahardjo15 menyatakan, tidak mudah untuk mengubah
perilaku hukum bangsa Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang
merdeka, karena waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan perubahan
secara sempurna.
2.3 Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
Membicarakan mengenai perilaku hukum
dan budaya hukum tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang
sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari
sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut, Kees Schuit16 menguraikan
unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
- Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum.”
- Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
- Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman
mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah:
(1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem
hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum
yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri
atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang
diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini
juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian
substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam
sistem hukum itu – keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan
budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum
dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh
baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.
Demikian juga kesenangan atau
ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena
itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan
faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis
dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat
dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga
masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan
bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya
hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi Warassih
Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang
hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum
masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis
kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor
yang mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk
memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain.
Selanjutnya dikemukakan bahwa, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal
atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya di
negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara
nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai
yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut,
tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat
menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai yang hidup
dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah
diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang
digunakan dewasa ini merupakan hasil transplantasi sistem hukum asing (Eropa)
ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia,
sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang merupakan bagian
sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu meski telah dintroduksikan ke
dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak tahun 1942, namun tetap
saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Bertolak dari serangkaian fakta di
muka, tentu harus diakui sebab bagaimana pun seluruh alur perkembangan sistem
hukum di Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti
berdasarkan konfigurasi asas asas yang telah digariskan sejak lama sebelum
kekuasaan kolonial tumbang. Sementara itu budaya hukum para yuris yang
mendukung beban kewajiban membangun hukum nasional amat sulit untuk menemukan
pemikiranpemikiran yang lateral dan menerobos.
Di lain pihak Soetandyo
Wignjosoebroto menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi
kolonial, pemikiran para yuris nasional ini pun mau tak mau telah diprakondisi
oleh dotrin-doktrin yang telah ada. Para perencana dan para pembina hukum
nasional – juga sekalipun mereka itu mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum
adat dan hukum Islam – adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik
dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut dicondongkan untuk
berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur tradisi ini, dan bergerak dengan modal
sistem hukum positif peninggalan hukum Hindia Belanda (yang tetap dinyatakan
berlaku berdasarkan berbagai aturan peralihan).”
Padahal hukum yang dibutuhkan oleh
dan untuk negeri berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya pembangunan
seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat berfungsi sebagai pembaharu, dan
bukan sekadar sebagai pengakomodasi perubahan seperti yang diimplisitkan dalam
ajaran the sociological jurisprudence Roscoe Pound. Ditengarai oleh
Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan institusi-institusi hukum
modern itu sesungguhnya cultural bound dalam konteks tradisi hukum
Barat.
Hukum yang dibingkai oleh tradisi
dan konfigurasi kultural Barat ini nyata-nyata tidak mudah untuk dengan begitu
saja dipakai dalam rangka mengatasi permasalahan hukum dan permasalahan
pembangunan pada umumnya di negeri-negeri berkembang non-Barat30 yang memiliki
aset-aset sosio-kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh
Robert
B. Seidman sebagai the Law of the
Nontransferability of law. Melengkapi uraian di muka, Esmi Warassih
Pujirahayu juga mengemukakan, “Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan
pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada sistem hukum yang
modern rasional, sementara hal tersebut tidak selalu sejalan dengan kesiapan
masyarakat di dalam menerima sistem tersebut.”
Oleh karena itu, dapat dipahami jika
penggunaan hukum modern beserta segenap institusi-institusi hukumnya kemudian
menimbulkan persoalan yang cukup krusial di dalam masyarakat. Apalagi ketika
lembaga pengadilan sebagai pranata dan penyangga sistem hukum modern terbukti
tidak mampu menjawab tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara ini
terutama dalam tugasnya menegakkan dan mendistribusikan keadilan kepada
masyarakat.
Pengalaman sesudah kemerdekaan, para
pengusaha merasakan betapa pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan
kebutuhan para pengusaha. Menurut Daniel S. Lev perubahan sosial dan ekonomi
yang cukup luas juga menyebabkan perubahan dalam budaya hukum masyarakat.
Prosedur peradilan menjerakan para
pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan hal itu, dikutipnya
secara lengkap komentar seorang advokat yang termasuk angkatan tua dari
Bandung, yang mengatakan: “…Para hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan
kurang menaruh perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk
perkara-perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan
tersebut terlalu panjang untuk dibaca. …Maka terlepas dari tidak adanya rasa
senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi perusahaan yang saya
wakili untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan kecuali kalau hal itu mutlak
perlu. Tidak hanya pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnya pun
berliku-liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk
memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sesuatunya
dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya. Dalam semua kontrak yang saya tulis
untuk perusahaan klien saya, saya masukkan klausula arbitrase sehingga
terhindar dari urusan dengan pengadilan.”
Komentar di atas betapa pun
menjukkan bahwa penghindaran penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di
kalangan pelaku bisnis tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping
kecenderungan budaya. Arbitrase dan mediasi menjadi forum alternatif yang
menjadi pilihan dan tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis untuk
menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan, karena para pelaku bisnis
terutama yang berasal dari negara-negara maju meyakini bahwa arbitrase dan
mediasi mempunyai karakteristik yang sesuai dengan budaya bisnis. Seperti
dikemukakan oleh Robert Coulson:
“Business executives are losing
patience with judicial solutions that take years to achive results and that
leave both parties exhausted by delays and legal expenses. Many people like
what alternative dispute resolution can offer. They are finding that commercial
arbitration and mediation are sensible ways to resolve business dispute.”
Pada dasarnya tidak ada pelaku
bisnis yang hendak kehilangan peluang berbisnis hanya karena menghadapi
penyelesaian sengketa dengan mitranya yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh
karena itu, walaupun arbitrase sesungguhnya merupakan institusi penyelesaian
sengketa yang menggunakan pendekatan pertentangan (adversarial) dengan
hasil win-lose seperti juga pengadilan, akan tetapi arbitrase tetap
dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang dianggap sebagai perbedaan cukup
penting oleh para pelaku bisnis antara arbitrase dengan pengadilan adalah,
dalam arbitrase mereka mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang
terdiri atas pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan memutus
sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu sama sekali tidak
mungkin diekspresikan di depan badan peradilan umum.
2.4 Pengadilan: tempat mencari keadilan atau
kemenangan?
Pengadilan di sini bukan diartikan
semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang
abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang
bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan,
yaitu memberikan kepada yang bersangkutan – konkritnya kepada yang mohon
keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.
Eksistensi pengadilan sebagai
lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima,
memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya diwakili oleh
hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi
peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim
dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk
secara total melibatkan dirinya pada saat membuat putusan, bukan hanya
mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh,
seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga
hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap
hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi
kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau
undang-undang, tetapi lebih daripada itu: ‘perilaku.’ Undangundang memang
penting dalam negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi
keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran
pasal-pasal undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka,
bahwa dalam sistem hukum di mana pun di dunia, keadilan selalu menjadi objek
perburuan melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan
kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan
prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat
mencari keadilan atau kemenangan?”
Keadilan memang barang yang abstrak
dan karena itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan
melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi pendistribusi keadilan
telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik bersamaan dengan
munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu,
pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial –
seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan
yang tidak berorientasi kepada “fixed rules of formally rational law,” melainkan
kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-postulat etika, religi,
politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi
modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.
Berdasarkan optik sosiologi hukum
yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili,
maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan, faktor
lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak penting. Putusan
tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu
harus di pengadilan.
Oleh karenanya, menegakkan dan
menemukan keadilan tidak semata-mata harus dilakukan melalui struktur formal
lembaga pengadilan. Fungsi mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak
lokasi, sehingga Marc Galanter42 mengungkapkan dengan sebutan “justice in
many rooms.” Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase atau mediasi
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan kecenderungan beralihnya
minat masyarakat pencari keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada
pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih tidak terstruktur secara
formal.
Namun demikian, bentuk yang disebut
terakhir itu diyakini oleh para penggunanya akan mampu melahirkan keadilan
substansial. Padahal selama beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara,43
termasuk di Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan untuk
mengelola sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan akan memperoleh
keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan
perundang-undangan.44 Akan tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti
tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor memang
yang menyebabkan pengadilan dalam perjalanan sejarahnya menjadi seperti itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1.
Sebagai penutup, beberapa simpulan dapat dikemukakan sebagai berikut;
- Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogianya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; Kedua, dalam kapasitas masing-masing penegak hukum (apakah sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
- Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang hakim, karena abatan hakim adalah jabatan terhormat, sehingga hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat. Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual dan moral” dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini tercitrakan ada jiwa, semangat, dan nilai ‘mission sacre’ kemanusiaan. Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), toleran, sehingga dapat menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama.
- Apabila hakim tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral sebagai sandaran vertikal sekaligus horizontal dalam pelaksanaan tugasnya, tidak heran jika krisis telah melanda lembaga pengadilan. Akibat dari krisis yang cukup serius yang dialami lembaga pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak kalah seriusnya adalah surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan pengadilan di mata masyarakat. Bahkan pengadilan di Indonesia telah sangat diragukan independensinya dalam memeriksa dan memutus suatu kasus. Persepsi masyarakat pencari keadilan telah nyata bahwa pengadilan di Indonesia “tidak lagi sebagai tempat mencari keadilan, melainkan sebagai tempat untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai tempat jual beli putusan.”
3.2 Saran
Selain kesimpulan, penyusun juga ingin menyampaikan
beberapa rekomendasi saran demi kesempurnaan makalah ini, antara lain :
- Menjadikan Peraturan yang berlaku di Indonesia sebagai tolak ukur kita dalam melakukan suatu perbuatan yang berkenaan dengan hukum.
- Meningkatkan keadilan terhadap masyarakat tanpa memandang statusnya.
- Selalu menjunjung keadilan dalam menegakkan hukum di Indonesia,
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,A Zainal, 2007, Hukum pidana 1 , Jakarta :
Sinar grafika
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan
dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti
HARAHAP, M. Yahya,“Citra Penegakan Hukum”; dalam
Varia Peradilan Tahun X Nomor 117, Juni 1995.
Moelyatno. 1978 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina
Aksara
Angga013@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar