DISUSUN OLEH :
YONATHAN SATRIO N (672012193) MD302A
672012193@student.uksw.edu
BAB I
PENDAHULUAN
Tak bisa dipungkiri bahwa kehidupan kita sebagai manusia yang hidup
secara berdampingan, sering bersinggungan dengan masalah SARA (Suku, Agama, dan
Ras). Kehidupan multikultural dan multidimesi seakan sangat susah untuk
dipahami keberadaannya, hingga konflik klasik, atau masalah lama tentang
persinggungan antar kepercayaan kerap terjadi.
Dalam kehidupan sekarang ini,
manusia dituntut untuk saling bertenggang rasa, saling menghormati atau
menghargai kepercayaan yang dianut orang lain. Jika hal tersebut dapat dipahami
dan diterapkan, maka hal persinggungan tentang SARA dapat diminimalisir.
Menurut AlQadrie (2005), Profesor Sosiologi
dari Universitas Tanjungpura Pontianak, berbagai konflik sosial yang telah
menimbulkan keterpurukan di negeri ini disebabkan oleh kurangnya
kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain,
karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya,
menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan
tumbuhnya sikap egois serta kurang perasaan atau kepekaan sosial. Hal sama juga
dikemukakan oleh Rahman (2005) bahwa konflik-konflik kedaerahan
sering terjadi seiring dengan ketiadaan pemahaman akan keberagaman atau
multikultur. Oleh karena untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut
perlu dikembangkan pendidikan multikulturalisme.
B. RUMUSAN MASALAH
·
Pemaknaan tentang Pluralisme
·
Pluralisme di Indonesia
·
Cara penanganan terhadap pluralitas masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
C. PLURALISME
Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti
kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang berarti paham, jadi pluralisme
adalah paham kemajemukan. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari segi
agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi
dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta
yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang
lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau
lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari
pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam
budaya atau adat-istiadat.
Jika dipahami dan didalami lebih sungguh, sebenarnya
pluralisme lah yang menandakan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat
keanekaragaman. Tetapi sama seperti alam, jika keanekaragaman itu tidak dijaga
dengan baik, maka akan rusak. Pluralisme dalam suatu peradaban manusia adalah
mutlak dan tidak bisa dibantah. Ini artinya mau tidak mau masyarakat
diperhadapkan kepada kehidupan dinamis, dimana didalamnya terdapat perbedaan
yang nyata. Oleh karena itu, pluralisme menjadi corak tersendiri di lingkup
masyarakat, hingga menjadikan mereka sebagai masyarakat majemuk.
D.
PLURALISME DI INDONESIA
Memang kurang rasanya jika berbicara pluralitas dan
kerukunan antar umat beragama tanpa
menyinggung negeri kita tercinta Indonesia. Indonesia mempunyai banyak sekali
keanekaragaman agama dan budaya.
Pluralitas adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dihindari
apalagi oleh bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Penolakan pada pluralisme
adalah sia-sia dan melawan hukum alam. Dengan ditolak, dimusuhi, diterima dan diperjuangkan,
pluralitas kehidupan akan tetap ada dan tidak akan pernah hilang. Adanya
warna-warni (hitam, putih, merah, kuning, hijau, biru) adalah kenyataan alamiah
ciptaan Tuhan yang bukan kekuasaan manusia menciptakan dan menghilangkannya.
Menolak pluralitas bukan hanya tidak perlu tapi juga tidak mungkin. Sebaliknya
juga dengan memperjuangkannya. Ragam agama, etnis, bangsa, warna kulit,
kebudayaan, laut, gunung,pepohonan, hewan dan sebagainya adalah
realitas-realitas Inherent kehidupan yang tidak perlu ditolak atau
diperjuangkan. Membuat gerakan untuk menolak pluralitas kehidupan adalah
sesuatu yang mengada-ada.
Indonesia setidaknya mempunyai enam agama yang diakui keberadaannya
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu). Selebihnya masuk dalam kategori kepercayaan atau aliran. Jumlah
aliran yang berkembang di Indonesia berkisar ratusan tersebar di seluruh
nusantara. Dalam menganut kepercayaannya, masyarakat diberikan kebebasan
sepenuhnya untuk memeluk agama yang mereka yakini benar tanpa ada kekangan dari
pihak manapun. Hal ini sudah tertera pada butiran pasal 29 UUD NKRI tahun 1945 yang menegaskan
bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan
keyakinan masing- masing serta beribadat berdasarkan agama dan kepercayaan
masing-masing. Pada Pancasila, juga terdapat sila pertama yang bisa dijadikan
bukti untuk memperkuat pandangan kebebasan dalam memeluk agama. Sila
Pertama ialah Ketuhanan yang Maha Esa.
Ketuhanan yang dimaksud ialah adanya nilai
transedental, keyakinan, kepercayaan bahwa ada kekuatan di luar manusia, gaib
dalam proses kehidupan manusia. Setiap aliran
kepercayaan dan keyakinan memiliki pandangan dan sudut pandang tersendiri dalam
menilai kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Inilah yang seharusnya menjadi
pemahaman kita sebagai masyarakat plural, bahwa setiap agama mempunyai
pandangan Ketuhanan yang berbeda, sehingga kita tidak dapat memaksakan suatu
keyakinan atau paham baru pada agama lain. Dengan memahami hal tersebut,
seharusnya kita bisa memaklumi, menghormati, bahkan melindungi bersama
kehidupan antar umat beragama.
Pluralisme
di Indonesia sejatinya menguji kita tentang seberapa dalam pemahaman kita
tentang Pancasila. Diferensiasi yang terjadi dinilai wajar dan harus ada agar
kita semakin tumbuh dewasa mengenali karakter dan golongan yang berbeda.
Pluralisme juga dimaksudkan agar Indonesia mampu mengedepankan masyarakat yang
agamis dan Pancasilais. Namun tak bisa dipungkiri juga pluralisme ibarat “Pisau
bermata dua”. Artinya masyarakat hidup dalam keanekaragaman yang kompleks, sehingga
menimbulkan keserasian,dan disisi lain pluralisme juga bisa membawa masyarakat
kepada perpecahan. Perpecahan yang terjadi bisa disebabkan oleh banyak faktor,
seperti kesalahpahaman hingga membuat golongan atau agama lain merasa
tersinggung, rasa egois dan menganggap agama yang dianutnya paling benar, dan
mungkin juga ada faktor yang lain, termasuk faktor dendam. Kerap kita mendengar
konflik antar agama yang terjadi di Indonesia, misalnya penutupan rumah ibadah,
perusakan gereja, penghalangan ibadah di suatu wilayah, pelarangan hari
peringatan suatu agama, penolakan terhadap agama lain yang dinilai mengganggu
eksistensi agamanya, dan konflik lainnya hingga ada konflik yang menimbulkan pertumpahan darah
antar umat beragama. Tentu kita masih mengingat kasus Ahmadiyah dan kasus Syiah,
kedua kasus tersebut merupakan kasus yang menyita perhatian besar masyarakat
Indonesia bahkan dunia ketika menilik kehidupan beragama di Indonesia.
E.
PENANGANAN TERHADAP PLURALISME PADA MASYARAKAT
Sebenarnya inti dalam menanggapi pluralisme di masyarakat adalah
sikap mau menerima adanya perbedaan. Mau menerima bukan berarti membuat semua
sama rata, tapi mau mengakui adanya perbedaan. Menerima kemajemukan berarti kekhasan
yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap
dipertahankan.
Dengan adanya dan penerimaan akan kemajemukan, maka dengan
sendirinya harus :
·
Ditolak pelbagai paham, sikap
dan praktek hidup yang mengandung unsur-unsur diskriminasi, fanatisme,
premordialisme dan kekerasan atau terorisme.
·
Dijamin penuh kebebasan dan
keadilan.
·
Setiap kelompok (maupun oknum anggota
kelompok) yang berbeda sebaiknya saling :
-
Memberi ruang atau kesempatan
untuk mewujudkan dan mengembangkan “diri”nya dan cita-cita atau tujuan hidupnya
masing-masing sebagaimana adanya dan mestinya.
-
Menghargai / menghormati.
-
Belajar untuk memahami dengan
lebih baik.
-
Menunjang dan memperkaya.
Perbedaan tidak perlu dan tidak boleh dilihat dan dijadikan sebagai
“sumber” pertentangan dan perpecahan, tetapi sebagai kekayaan dan pendorong
untuk kerukunan dan perdamaian serta kesatuan dan kerjasama.
F.
BEBERAPA KEBUTUHAN / CARA UNTUK MEMELIHARA KEMAJEMUKAN
i)
Secara Internal :
Penguatan internal melalui :
- Pendalaman dan pemahaman
identitas sendiri dengan lebih tepat, mendalam dan lengkap;
Misalnya: apabila seseorang atau sekelompok umat
beragama mempunyai pemahaman yang salah, atau keliru dan tidak lengkap tentang
agama dan iman yang diwarisi, akan menimbulkan penyimpangan dan ekstrimisme
atau fanatisme yang salah, baik pada tataran konsep atau pemahaman dan
keyakinan (batiniah) maupun pada tataran praksis atau sikap dan tindakan dalam
hidup (lahiriah). Hal ini tentu akan sangat mengganggu keharmonisan, kerukunan,
toleransi, ketenteraman, kedamaian, persekutuan dan kerjasama dalam antar
maupun inter umat umat beragama. Kemajemukan akan terganggu dan sulit diterima
oleh orang-orang sedemikian. Oleh sebab itu pendalaman agama dan iman secara
tepat dan lengkap.
- Pendewasaan
dan peningkatan kwalitas diri (sebagai manusia pada umumnya maupun secara
khusus sebagai orang beragama dan beriman, beradat dan berbudaya, berakhlak dan
bermoral, berbangsa dan bernegara) melalui pengajaran, pelatihan dan
pembinaan untuk meningkatan penetahuan, ketrampilan dan kepribadian, dengan
penekanan pada pengakaran nilai-nilai hidup (kemanusiaan, keagamaan/keimanan,
kebudayaan, dan kemasyarakatan/ kenegaraan) serta penerapannya dalam parktek
hidup sehari-hari.
Bila orang
sungguh-sungguh memiliki nilai-nilai hidup (misalnya kemanusiaan dan
keagamaan serta keimanan) secara benar, utuh, mendalam, konsekwen dan
konsisten, dalam arti memahami, menghayati dan mengamalkan atau mewujudkan
nilai-nilai tersebut secara memadai, matang dan baik kepribadiannya dari
pelbagai aspek, maka keharmonisan, kerukunan, kedamaian, persatuan dan
kerjasama dalam kemajemukan akan terjamin selalu.
- Revitalisasi (pemantapan “diri”, posisi, peran/fungsi/makna)
melalui: introspeksi, koreksi atau pembaharuan, pelestarian dan pengembangan
internal secara kontekstual dan berkelanjutan.
Sistem-sistem nilai dan praktek hidup seperti agama,
adat-istiadat dll., pada dasarnya bersifat fungsional dan kontekstual dalam
sejarah hidup manusia yang berubah dari masa ke masa. Oleh sebab itu hal-hal
tersebut yang membuat adanya kemajemukan dalam suatu masyarakat senantiasa
perlu diteropongi secara kritis dari dalam, dikoreksi dan diperbaharui,
dilestarikan dan dikembangkan secara kontekstual dan berkelanjutan seiring
sejalan dengan perubahan zaman. Hal ini mutlak perlu agar sistim-sistim yang
ada mempunyai tempat dan makna serta berdaya-guna dalam kehidupan manusia
secara memadai.
Secara Eksternal :
·
Pengenalan/pendalaman dan pemahaman
satu sama lain melalui dialog (komunikasi), keterbukaan dan proses belajar
timbal balik, secara proporsional.
·
Membangun hidup bersama yang
rukun dan toleran dalam suasana persaudaraan lintas kelompok yang berbeda
secara berkelanjutan.
·
Menanamkan dan mengembangkan
kejujuran, ketulusan dan kepercayaan satu sama lain.
·
Mencari dan mengembangkan
bersama “simpul” kerukunan dan kesatuan dalam kemajemukan.
·
Mengembangkan solidaritas
soslal dan persaudaraan sejati lintas kelompok yang berbeda (agama, suku, ras,
dll) dalam tindakan konkrit atau praktek hidup yang nyata dan aktual.
·
Membangun kerjasama lintas
kelompok yang berbeda dalam bidang pendidikan (pengajaran, pelatihan dan
pembinaan formal maupun non-fromal), ekonomi, sosial karitatif, sosial budaya
dan politik.
BAB
III
PENUTUP
G.
KESIMPULAN
Pluralisme memang suatu hal yang pelik dan rumit jika
diperbincangkan. Hal ini akan terasa manis jika seluruh elemen didalamnya bisa
bersinergi dengan baik, bekerja sama dan saling menghormati. Namun akan terasa
membebani dan menyedihkan bila pluralitas dalam masyarakat menjadi suatu
masalah. Setiap agama sejatinya sudah jelas mengajarkan bahwa sesama umat
manusia harus saling mengasihi. Tidak ada agama yang paling benar di muka bumi
ini, dan semua agama tidak diperbolehkan mencampuri, bahkan menghakimi agama
lain. Satu hal yang menguatkan yaitu setiap agama harus tunduk pada peraturan
Negara. Agama tidak dapat membuat peraturannya sendiri, lalu meresmikannya pada
forum nasional. Bagaimanapun juga, kedudukan setiap agama di hadapan Negara
adalah sama. Jadi yang perlu digaris bawahi di sini adalah, bagaimana kita
bertindak dewasa, memahami arti pluralisme secara benar dan menerapkannya pada
kehidupan masyarakat. Pluralisme adalah hal yang sensitif, hal yang sering
membuat perselisihan di antara umat beragama, tetapi tidak mungkin kita
menghilangkannya. Kita hidup di Indonesia yang serba plural, Bhinneka Tunggal
Ika juga mengakui ada perbedaan di antara kita. Perbedaan itu ibarat dekorasi
rumah,dan Indonesia ibarat rumahnya.
Apakah kita akan merangkai nya untuk mempercantik rumah, atau
memperburuk rumah dengan dekorasi yang tidak teratur, sehingga hanya akan
menumpuk di dinding dan membuatnya tampak seperti sampah . Maka, isilah
Indonesia dengan perbedaan yang ada, karena pluralitas itu indah.
SUMBER
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005. Sosialisasi Pluralisme dan Multikulturalisme Melalui Pendidikan.
SUMBER GAMBAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar