1. PENDAHULUAN
Terdapat suatu pernyataan yang berbunyi,
“hukum di Indonesia seperti pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Apa yang
dimaksudkan dari pernyataan tersebut? Kalimat tersebut adalah suatu ungkapan
yang bisa digunakan untuk menggambarkan sistem penegakan hukum di Negara
ini.
Di dalam makalah yang saya susun ini, saya
mengangkat tema mengenai hukum dan keadilan dimana topik yang saya ambil adalah
penegakan hukum di Indonesia. Saya memilih topik ini karena menurut saya, kita
sebagai masyarakat Indonesia harus dapat bersikap kritis dengan apa yang
terjadi di sekitar kita, pada hal ini adalah penegakan hukum. Dan pembahasan
makalah ini akan saya fokuskan untuk menjelaskan mengenai inkonsistensi
penegakan hukum yang secara nyata terjadi di sekitar kita.
Saya berharap supaya makalah ini dapat
bermanfaat bagi banyak orang, khususnya bagi mahasiswa dari Universitas Kristen
Satya Wacana.
2. PEMBAHASAN
a. Hukum dan Keadilan
Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi
setiap pihak yang sedang bermasalah, seringkali bersifat diskriminatif, memihak
kepada yang kuat, kaya dan berkuasa. Hal ini dibuktikan dengan adanya pelaksanaan
hukum di Indonesia yang sering dilihat berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang
dirugikan.
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan salah
satu dari banyak permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan
terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi
penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun
cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan
sebagainya).
b. Inkonsistensi
Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan hukum berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi seperti pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas, kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh
peristiwa yang sangat membuat saya heran adalah mengenai koruptor kelas kakap
yang dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam
bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
·
Penyebab adanya Inkonsistensi Penegakan Hukum
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, yaitu:
- Tingkat Kekayaan Seseorang
- Tingkat Jabatan Seseorang
- Nepotisme
- Tekanan Internasional
·
Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di
Indonesia
- Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat melihat bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka, dan
sedapat mungkin dihindari. Contoh kecilnya, bila seseorang melanggar peraturan
lalu lintas misalnya, maka sudah biasa dilakukan upaya “damai” dengan petugas
polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Memang
dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau
mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun
tidak
demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui
pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai
pilihan di luar pengadilan.
- Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman
yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan.
Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang
dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.
- Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum
untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti
adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun
hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi
perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang
seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa, berubah
menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara
bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di
kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa.
Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut,
kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau
memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan
tertentu.
3.
KESIMPULAN
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah
krusial yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat.
Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum menciptakan sikap tidak
mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung
menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa
akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak
yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang
konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik
polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan
yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk
kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan
hukum di Indonesia.
Daftar Pustaka
Online:
Buku:
1. Ali,
Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung Pandang,
1999
2. Doyle,
Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang,
Gramedia, Jakarta, 1986.
3. Soemardi,
Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar