Oleh :Fera Lonardy - 852012019@student.uksw.edu/MD302A
Kebanyakan orang masih
menganggap bahwa istilah gender hanya merujuk pada perempuan. Masih banyak pula
orang yang belum paham dan salah paham atau rancu dalam memahami istilah gender
dan jenis kelamin (seks). Kita memang perlu memahami secara tuntas mengenai
istilah gender sebelum kita menggunakan, mengucapkan dan bekerja untuk hal
tersebut.
Gender bukan hanya
sekedar satu kata dengan satu pengertian dan gender bukan berakar dari bahasa
indonesia. Ada banyak pengertian yang terkait dengan istilah gender. Gender
merupakan sebuah konsep yang berbicara mengenai kehidupan dua jenis kelamin
manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah gender berawal dari kesadaran
manusia bahwa manusia tidak hanya satu, namun manusia bermacam-macam, hal ini
terkait dengan jenis kelaminnya.
Pada kenyataannya dalam
kebudayaan sosial masyarakat, gender menjurus pada suatu pandangan yang membuat
kehidupan perempuan dan laki-laki dibedakan. Padahal dalam prinsip kemanusiaan,
perempuan dan laki-laki adalah dua jenis manusia yang memiliki hak-hak
kemanusiaan yang setara. Gender bukan soal jenis kelamin, karena jenis kelamin
hanyalah samata-mata berbicara soal biologi. Perempuan memiliki rahim,
payudara, bisa mengandung, melahirkan dan menyusui. Laki-laki memiliki sperma
untuk membuahi sel telur, laki-laki mempunyai hormon khas yang berbeda dengan
hormon perempuan untuk melakukan fungsi biologisnya. Kemudian fungsi biologis
laki-laki dan perempuan dicampur aduk dalam kehidupan sosial politik. Padahal
fungsi dan proses biologi mereka hanya merupakan alat reproduksi dalam tubuh
mereka, yang terjadi pula pada berbagai jenis spesies lain, dan seharusnya
tidak ada pengaruh dalam pandangan dan penilaian sosial apapun diluar fungsinya.
Jenis kelamin bukanlah gender, melainkan eksistensi biologi makhluk hidup
khususnya manusia.
Istilah gender
sebenarnya ingin menjelaskan bahwa ada persoalan diantara dua jenis kelamin ini
dalam kehidupan sosial politik mereka. Hal itu bukan berasal dari dalam diri
mereka, namun cara pandang sosial politik dan kebudayaan secara turun temurun
yang membuat seseorang atas dasar jenis kelaminnya dapat mengalami diskriminasi
atau ketidakadilan. Seringkali yang menjadi korban diskriminasi, kekerasan
seksual dan pelecehan adalah perempuan dan anak-anak perempuan. Contoh yang
paling sederhana di dalam kehidupan berkeluarga, perempuan (istri/ibu) di dalam
kebuadayaan kita harus tunduk dan patuh pada laki-laki / suami karena hanya
jenis kelamin laki-laki yang diakui dan berkuasa dalam rumah tangga karena
laki-laki dituntut untuk mencari nafkah, menjadi sukses dan mapan sehingga
mereka harus menjadi super dan istimewa. Dampak yang terjadi akibat laki-laki
tidak berhasil memenuhi standar itu adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Istilah gender ingin memperjelas bahwa persoalan laki-laki dan perempuan
berawal dari rumah, tempat tidur, dapur dan urusan dalam rumah tangga.
Kebudayaan telah
membuat dua jenis kelamin manusia yaitu laki-laki dan perempuan mengalami
kesenjangan dengan dipisahkan oleh jurang yang begitu dalam. Mereka menjadi
“tidak nyambung” dalam berkomunikasi, mereka terbentuk oleh mental dan cara
berpikir yang berseberangan. Mereka disebut feminim dan maskulin. Mereka tidak
boleh bertukar peran meskipun pada hakikatnya manusia itu indah, sama-sama
memiliki hati, pikiran dan jiwa yang seharusnya teraktualisasi dalam kehidupan
sehari-hari. Kedua jenis kelamin manusia ini terus berada dalam masalah tanpa
tahu bagaimana cara untuk menyelesaikannya. Inilah yang merupakan ketidakadilan
gender.
Ada sebuah budaya di
NTT yang mewajibkan perempuan yang baru saja melahirkan, selama 30 hari
dikurung bersama anaknya di dalam kamar tungku berasap (dapur). Sebagian besar
orang berpandangan bahwa perempuan pantas diperkosa bila keluar larut malam
atau saat mereka berpakaian terbuka. Hampir setiap hari media cetak menulis
sekolom kecil tulisan atau sekilas informasi di televisi yang memberitakan
tentang anak perempuan yang baru berusia 8 tahun mengalami pelecehan seksual
oleh gurunya, atau bayi perempuan yang baru berusia 9 bulan diperkosa ayahnya
sendiri, dan masih banyak lagi berita-berita menyangkut pelecehan terhadap
wanita tanpa mengenal usia. Berita-berita itu rutin disiarkan setiap hari,
seakan-akan kekerasan seksual yang dialami perempuan sudah merupakan suatu
rutinitas setiap hari.
Terkadang kekerasan yang terjadi
pada perempuan merupakan akibat dari dampak yang begitu parah pada pelabelan
negatif terhadap perempuan. Perempuan dianggap sebagai tubuh sosial yang rapuh
dan dianggap boleh untuk dikuasai. Kekerasan bisa terjadi di dalam berbagai
aspek kehidupan, contohnya; laki-laki dewasa yang kaya dapat membeli anak
perempuan dengan mengatasnamakan “perkawinan sah” atau membeli perempuan dalam
bisnis prostitusi, bisa juga terjadi pada anggota parlemen, pemimpin atau
direktur perusahaan, atau buruh TKW, buruh-buruh pabrik, dan termasuk juga
ibu-ibu rumah tangga. Perempuan tidak dapat menghindari situasi ini dengan
status sosial, ras, agama, usia dan jabatan seorang perempuan. Sudah sangat
jelas pelaku pemerkosaan kebanyakan adalah laki-laki, namun begitu banyak yang
masih mengelak, masih banyak pihak yang bahkan melindungi pelaku dan
menyalahkan korban.
Pernahkah kita sempat berpikir,
ada apa dibalik semua ini? Atau siapakah yang menciptakan perbedaan dan
kesenjangan antara dua jenis kelamin ini? Siapa lagi kalau bukan manusia itu
sendiri. Karena hal ini merupakan “ciptaan manusia” maka seharusnya hal
tersebut dapat “dibangun kembali” menjadi suatu kebudayaan atau kehidupan yang
jauh lebih adil diantara perempuan dan laki-laki. Karena itu diperlukan
perhatian besar dan kemauan dari kita yang perlu didukung oleh sistem
pendidikan yang dapat membangun kesadaran manusia baik laki-laki maupun
perempuan dari segala usia, juga perlu diwujudkan dalam perundang-undangan dan
tindakan hukum, dalam sistem politik, budaya dan ruang-ruang publik, tentang bagaimana
kita hidup dibumi ini perlu bekerja keras untuk kembali menyehatkan akal, tubuh
dan jiwa dalam kehidupan yang adil dan setara. Kita semua ingin hidup bahagia,
tetapi jika kebahagiaan itu tidak dirumuskan dalam hukum, politik dan budaya
yang adil, dan juga dalam cara berpikir dan perilaku kita, kekerasan seksual
dan pelecehan itu tidak akan pernah berhenti. Demikianlah artikel singkat ini
saya buat dengan mengangkat tema “Gender” sekaligus untuk menyinggung tentang
kehidupan berbasis gender dengan uraian yang menuju kepada suatu apresiasi
terhadap kehidupan sosial budaya khususnya yang terjadi dalam kehidupan
perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar