TOPIK
:
Kebudayaan Masyarakat Toraja
DISUSUN
OLEH :
HESTIN BALA / 682012040
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan, dengan rahmat karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik dan usaha yang telah di lakukan penyusun sehingga dapat memenuhi
tugas yang diberikan dosen sebagai tugas tes tengah semester. Namun dalam
penulisan makalah ini tidaklah luput dari berbagai kekurangan dan kesalahan
dalam penyusunan makalah. Kiranya pembaca dapat memaklumi dari kesalahan tersebut.
Kiranya makalah ini dapat bermanfaaf bagi
siapa saja yang membaca guna untuk mengetahui bahwa di negeri kita Indondesia
banyaknya dan keberanakaragaman budaya di Indonesia salah satunya yaitu Toraja
yang akan menjadi topik pembahasan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
I.
PENDAHULUAN
II.
ISI
1.
UPACARA
KEMATIAN RAMBU SOLO’
2. PROSES UMUM UPACARA KEMATIAN RAMBU SOLO’
III.
PENUTUP
IV.
SUMBER
I.
PENDAHULUAN
Toraja adalah suatu tempat dan suku yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten
Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas
suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk
To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama
Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to
riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial
Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal
akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonandan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan
peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa
otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar.
Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin
terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi
lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata
dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami
transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris,
menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan
anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan”
(kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh
suku Toraja sebagai cara berhubungan denganPuang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia
(bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah
yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas,
ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi),Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa
kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang
baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang
pendeta aluk). Aluk bukan
hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat,
praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa
berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah
peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja
percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
II.ISI
1. UPACARA
PEMAKAMAN RAMBU SOLO’
Rambu
Solo' adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk
menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,
yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah
tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan
tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan
kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap
benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum,
maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau
“lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu
dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu
diajak berbicara.
Oleh
karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena
kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal
tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat
dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks
ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun
masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada
orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan
upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal,
diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih,
semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah
kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan
menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya
mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan
ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan,
melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini,
sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi
hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.
Puncak
dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di
sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian
ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses
pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan
(ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan
terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai
atrakasi budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga
tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum
disembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan
beberapa musik, sepertipa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa
tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan,
passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya
lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas
mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan.
Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong
bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga
terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para
pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain
merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.
Rambu
Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong,
tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang
tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik
pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong
Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong
Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies
yang hanya terdapat di Toraja.
2.
PROSES UMUM UPACARA KEMATIAN RAMBU
SOLO’
Adapun proses umum dalam
acara kematian dan Rambu Solo' adalah
sebagai berikut :
- Ma’dio’ Tomate yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
- Ma’doya yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’ dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate.
- Ma’balun yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
- Ma’bolong dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
- Meaa yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut Ma’peliang.
- Kumande yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
- Untoe Sero yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang hidup tidak ada lagi.
- Membase (membersihkan) yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo' dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
- Pembalikan Tomate, yaitu menempatkan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua proses di atas
adalah proses umum pada Rambu
Solo' namun setiap daerah adat mempunyai cara atau penambahan
tersendiri. Upacara khusus yang merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan
keharusan adalah Ma’nene’ yaitu upacara peringatan arwah
leluhur atau Tomembali Puang saat keluarga mendapat berkat. Upacara ini
berbeda-beda untuk tiap daerah adat tetapi maksud dan tujuannya sama.
III.
PENUTUP
Berikut adalah gambar dari
budaya Toraja pada saat upacara kematian Rambu Solo’
Gambar1 : Kerbau yang akan di sembeli |
Gambar 2 :
Pengangkatan jenasah menuju tempat pemakaman
|
Gambar4: tongkonan, rumah adat Toraja |
Gambar5: pakaian adat Toraja |
Gambar3: ukiran kayu Toraja setiap panel melambangkan hal baik
|
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar