Oleh : Angelia Astri H /802012092 /802012092@student.uksw.edu
MD302A
Indonesia,
ragam budayanya. Kenapa beragam? Indonesia, suatu negara yang terdiri dari
beribu-ribu pulau, dari pulau yang ukurannya besar sampai yang kecil, dari yang
padat penduduk sampai tidak ada penghuni, dari yang sering dibicarakan namanya
hingga yang tidak punya nama. Ragam budaya, dari Sabang sampai Merauke, dari
bahasa Aceh sampai Papua, dari rendang sampai papeda, dari ulee balang sampai
manawou, dari tugu Nol Kilometer RI
sampai tugu Kembaran Sabang Merauke.
Terlalu luas
untuk membicarakan budaya Indonesia, terlalu panjang untuk menceritakan dari
ujung barat hingga timur budaya Indonesia. Mari kita perkecil pandangan kita,
dari Negara Indonesia ke Pulau Jawa ke Provinsi Banten dan berhenti di sebuah
kota pinggiran barat Jakarta yaitu Tangerang.
Tangerang? Apa itu Tangerang? Sebuah kota terbesar
di provinsi Banten yang dahulunya merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat
dengan luas sekitar 164.54 km2. Kawasan perkotaan terbesar
Jabodetabek setelah Jakarta. Berdampingan dengan kota Jakarta dan kota Depok.
Berslogan Bhakti Karya Adhi Kertaraharja yang berarti semangat pengabdian dalam
bentuk karya pembangunan untuk kebesaran negeri dan kemakmuran serta
kesejahteraan wilayah. Sesuai dengan slogannya, Tangerang memanglah kawasan
industri dengan cukup banyak berbagai perusahaan yang berdiri. Selain kawasan
industri, lebih dari 60% lahan kota
Tangerang diisi dengan perumahan yang aslinya merupakan daerah rawa-rawa dan
mempunyai cuaca cenderung panas dan tetapi juga lembab.
Tangerang tidak bisa lepas dari peranan sungai Cisadane yang
membujur dari daerah selatan pegunungan ke daerah pesisir. Sungai yang membawa
cerita bahwa Tangerang untuk pertama kalinya kedatangan orang Tionghoa pada
tahun 1407. Kapal mereka terdampar di wilayah Teluk Naga dan akhirnya mereka berbaur
dengan masyarakat dan melakukan pernikahan campuran yang menghasilkan istilah
Cina Bike atau orang Tionghoa yang berasal dari keturunan bibi dan
sinkhe. Fase 2 orang Tionghoa datang ke Tangerang adalah karena sistem kerja
paksa Belanda sehingga menghasilkan mata pencaharian bertani di kalangan
masyarakat Tangerang dan juga Belanda menyediakan pemukiman bagi warga Tionghua
di daerah Petak Sembilang yang lebih sering dikenal sebagai Pasar Lama yang
merupakan kawasan perdagangan dan juga wisata kuliner.
Tidak heran jika banyak
peninggalan berbau Tionghoa di sekitaran Tangerang yang berwujud klenteng seperti
Klenteng Boen Tek Bio, Boen San Bio dan Boen Hay Bio. Klenteng Boen Tek Bio
yang berdiri sejak sekitar tahun 1684 merupakan klenteng tertua di Tangerang
yang terletak di jalan Bhakti 14 kawasan Pasar Lama. Klenteng ini merupakan
tempat ibadah tiga agama, etnis Tionghoa, yaitu Budha, Khonghucu, dan Tao.
Meskipun bersama-sama dalam satu tempat, tetapi tidak pernah ada fanatisme di
salah satu agama. Di dalam klenteng tersebut terdapat benda kuno dan bersejarah
seperti, Batu Tambur (peninggalan sekitar abad ke-17), Patung Singa / Ciok Say
(sekitar abad ke-17), Lonceng kuno (sekitar abad ke-18), Prasasti Kayu (sekitar
abad ke-18). Klenteng Boen San Bio yang terletak di jalan KS Tubun Pasar Baru dibangun
sejak tahun 1689 oleh Oey Giok Koen dan memiliki peninggalan Patung Singa /
Ciok Say (sekitar abad ke-17) dan Perahu Peh Cun yang berusia sekitar 100 tahun.
Yang terakhir klenteng Boen Hay Bio yang berdiri sekitar tahun 1694 di kawasan
Serpong.
Selain klenteng, terdapat
pula peninggalan berupa rumah-rumah kapitan atau jabatan bagi Dewan Kong Koan
yaitu sebuah perkumpulan untuk masyarakat Tionghoa sebagai pusat komunitas saat
itu yang dibentuk oleh Belanda. Yang pertama, ada rumah kapitan Oey Dji San
yang kabarnya, rumah ini berdiri sebelum Klenteng Boen Tek Bio dibangun.
Terletak di daerah Karawaci dan memiliki keunikan tersendiri yaitu, mengandung 3 unsur arsitektur Belanda, Cina,
dan Lokal, memiliki keindahan dengan berbagai ukiran unik pada setiap sisi
bangunannya, atap rumahnya yang berbentuk ekor wallet, pernah menjadi pusat
perkebunan karet terbesar di Tangerang dan juga pernah menjadi tempat
penampungan masyarakat Tionghoa yang telah menjadi korban kerusuhan pada tahun
1946. Namun kini rumah tersebut sudah tidak terawat lagi dikarenakan tidak
adanya perhatian dari pemerintah setempat.
Rumah Keluarga Tan Un Long,
terletak di daerah Gang Bansin Karawaci, yang memiliki papan arwah 8 generasi
yang tidak ditemukan di daerah lain manapun, memiliki Hio Lo yang berasal dari
abad ke-17. Makam Kapitan Oey Giok Koen yang terletak di daerah Pondok Arum.
Kapitan Oey Giok Koen merupakan pemimpin masyarakat Tionghoa pada saat itu,
meninggal sekitar tahun 1900-an. Makamnya memiliki keindahan dan keunikan
tersendiri karena nisan yang konon didatangkan langsung dari Negeri Tiongkok.
Makam Kapitan Oey Kiat Tjin yang meninggal pada tahun 1937 terletak di daerah gang
H. Rain Karawaci.
Rumah Kebaya yang masih
dapat ditemui di daerah-daerah tertentu. memiliki keunikan tersendiri yang
berbeda dari rumah kebanyakan di Tangerang sekarang ini. Keseluruhan bangunan rumah
kebaya ini menggunakan unsur kayu dengan pintu di tengah diapit oleh dua buah
jendela. Memiliki paseban untuk menerima tamu dan memiliki latar untuk menjemur
padi. Perahu Pehcun, perahu yang sangat mengandung nilai sejarah dan unsur
budaya yang bernilai tinggi bagi masyarakat Tangerang.
Pehcun merupakan sebuah perayaan
untuk memperingati l00 hari tahun baru China (Imlek). Tahun Baru Imlek atau Sin
Tjia oleh masyarakat keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula dari
ungkapan rasa gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk menyambut
musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di sawah.
Ada sumber lain pula yang mengatakan Pehcun merupakan upacara tradisional Cina
yang melambangkan penghormatan bagi jasad seorang tokoh yang berpengaruh,
tengelam dan tewas di sebuah sungai di cina. Merupakan upaya pencarian yang
dilakukan dengan memakai perahu dayung. Perayaan pehcun di Tangerang pertama
kali digelar pada tahun 1910. Digelar dengan cara memperlombakan Perahu Naga
dan dimeriahkan oleh Gambang Kromong. Perayaan tersebut pernah vakum pada jaman
Orde Baru, tetapi kemudian pada era pemerintahan Presiden K.H Abdurrahman Wahid
festival tersebut kembali dilakukan dengan sangat meriah bahkan sampai pernah
dihadiri oleh presiden. Namun setelah beberapa tahun berikutnya festival
tersebut dianggap sebagai Festival Cisadane sehingga mengakibatkan lunturnya
perayaan Festival Pecun yang agak telah mengubah makna budaya dan sejarah dari
Festival Pecun yang sebenarnya.
Alat
musik Gambang Kromong merupakan perpaduan dari alat musik lokal dan Tiongkok.
Alat musik yang mengiringi perayaan Pehcun ataupun perayaan pernikahan ini
tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan China yang
membentuk orkes alat musik ini. Gambang Kromong terdiri dari alat musik
Tiongkok bangsing, tehyan, sukong, kongahnyan, ningning, dan alat musik lokal
berupa gambang, kromong, gendang, gong,
kemor, kecrek, kempul, dan slukat. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan, bukan
saja terjadi pengadaptasian, tapi pula pengadopsian lagu-lagu China yang disebut
pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan
sebagainya.
Tari
Cokek, tarian khas Tangerang yang diwarnai budaya etnik China karena
dikembangkan oleh masyarakat tionghoa sejak abad ke-17. Tarian ini diiringi
oleh orkes gambang kromong dengan penari yang mengenakan kebaya yang disebut
cokek. Tarian ini identik dengan keerotisan penari, penari pria dan wanita
menari berpasangan dalam posisi berdempet-dempetan yang dianggap tabu oleh
sebagian masyarakat.
Arak-Arakan
Dewi Kwan Im atau nama lainnya Gotong Toapekong yang secara rutin
diselenggarakan 12 tahun sekali oleh masyarakat Tionghoa Cina Benteng yang
dimulai dari sekitar abad ke-19. Acara ini pun sempat vakum pada jaman
pemerintahan Orde Baru dan diselenggarakan kembali pada tahun 2012 yang ramai
dihadiri oleh puluhan ribu masyarakat yang berasal dari dalam negeri maupun
dari luar negeri.
Tradisi
Perkawinan Chiou-Thaou, diselenggarakan dalam tradisi kuno masyarakat China
Benteng. Konon adat pernikahan ini juga hanya ada di beberapa daerah saja
seperti Tangerang, Padang dan Penang Malaysia. Chiou-Thau adalah istilah umum
bagi suatu upacara pernikahan yang unik dan langka karena merupakan perpaduan
dua unsur budaya, budaya lokal dan budaya Tionghoa yang terlihat dari pakaian
kedua mempelai, mempelai pria menggunakan baju ala Tiongkok dari Dinasti Qing
dan mempelai wanita menggunakan kebaya. Dan Persembahyangan dilakukan dengan 2
cara yaitu, cara Tionghoa dengan menggunakan meja persembahyangan yang disebut
dengan Samkay dan cara lokal dengan menggunakan sedekah ala masyarakat Sunda. Makan
12 mangkuk, bersantap dengan 12 jenis lauk yang masing-masing diletakkan dalam
mangkuk porselin. Pengantin wanita didampingi dua orang saudara laki-laki yang
belum menikah dan sebaiknya dari shio naga dan macan. Makanan dalam 12 mangkuk
itu melambangkan kesinambungan rezeki dalam tiap-tiap bulan selama setahun.
Rasa masakan juga berbeda-beda: asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih,
berlemak yang bertujuan untuk menyiapkan pengantin bahwa tidak selamanya mereka
menghadapi kondisi menyenangkan sepanjang usia pernikahan mereka.
Selain tradisi perayaan suatu acara, Tangerang juga
mempunyai makanan khas peranakan Tangerang-Cina. Beberapa makanan khas
Tangerang misalnya : Sayur Besan yang merupakan makanan khas Tangerang yang selalu dihidangkan
pada saat orang tua mempelai laki- laki datang ke rumah orang tua mempelai
wanita, pada acara perkawinan (ngabesan), sehingga sayur ini dinamakan sayur
besan. Gecom (Toge dan Oncom)
atau nama lainnya sering disebut dengan toge/kecambah goreng.
Laksa Tangerang, berbeda dengan laksa betawi atau malaysia.
Ada dua macam jenis laksa tangerang yaitu Laksa Nyai dan laksa Nyonya. Laksa
Nyai dibuat oleh kaum pribumi tangerang sedangkan laksa Nyonya dibuat oleh kaum
peranakan Cina di Tangerang. Bahan utamanya adalah semacam bihun tapi tebalnya seperti spaghetti dan
terbuat dari beras
kemudian bahan-bahan ini disiram dengan kuah laksa yang dimasak dari kacang ijo, kentang, santan dan kaldu ayam serta ditambahkan daging ayam kampung atau telur. Tangerang juga memproduksi
kecap yang merupakan cikal bakal produk kecap manis terkenal yang sekarang ini
di pasaran. Peran kaum etnis tionghoa di benteng atau Cina Benteng yang menetap
di Tangerang tidak lepas dari produksi kecap ini. Salah satunya yang terkenal
adalah Kecap Benteng SH (Siong Hin) yang telah mempunyai nama di pasaran sejak
tahun 1920.
Mungkin memang Tangerang adalah salah satu kota yang
yang tidak terlalu mempunyai budaya khas, namun saya ingin mencoba
memperkenalkan asal-usul lahirnya budaya Tangerang kepada masyarakat yang
sering mengatakan “Tangerang punya (budaya) apa sih yang bisa dibanggain?”.
Dari tulisan ini, kita bisa mengetahui kenapa budaya Tangerang tidak ada yang
terlalu orisinil, masyarakat Tangerang merupakan campuran warga Tionghoa,
Tangerang juga mengalami perpindahan wilayah bagian yang semula bagian dari
Jawa Barat menjadi masuk dalam bagian provinsi Banten.
Topik : Kebudayaan
Tangerang
1 komentar:
nice post...
Posting Komentar